(Review) Novel Bilanagn Fu Karya Ayu Utami
Judul
Buku : Bilangan Fu
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun : Oktober 2018
Cetakan : Ke-2
Tebal : x + 562 Halaman
ISBN : 978-602-424-397-5
Ayu Utami dikenal sebagai penulis novel Saman
dilahirkan di Bogor pada tanggal 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi
Sutaryo dan ibunya bernama Bernadeta Suhartinah. Bungsu dari lima bersaudara
ini bernama lengkap Justina Ayu Utami dan beragama Katolik. Ia dikenal sebagai
novelis sejak novelnya Saman menjadi pemenang sayembara penulisan roman Dewan
Kesenian Jakarta 1998. Kehadiran Ayu Utami dengan novelnya Saman ini mengundang
banyak kontroversi. Namun, terlepas dari semuanya itu, novel ini dipuji oleh
banyak pihak dan di pasaran tergolong laris (best seller). Dalam waktu tiga
tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince
Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den
Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan
pembangunan.
Di dalam dunia jurnalistik, Ayu Utami pernah
menjadi wartawan lepas Matra, wartawan Forum Keadilan, wartawan D&R, dan
menjadi anggota Sidang Redaksi Kalam, serta Kurator Teater Utan Kayu. Kegiatan
lain yang ditekuninya antara lain pendiri dan anggota Aliansi Jurnalis
Independen (AJI), dan peneliti pada Institut Studi Arus Informasi. Pada tahun
1994, Ayu Utami termasuk wartawan yang ikut menandatangani Deklarasi
Sinargalih, yang merupakan tonggak berdirinya AJI. Untuk itu, ia harus rela
dipindah dari bagian redaksi ke bagian pemasaran di tempat ia bekerja, majalah
Forum.
Bilangan Fu yang sebelumnya di iringi oleh
seri Bilangan Fu dalam novel lainnya yaitu Manjali dan Cakrabirawa; Lalita;
Maya. Kemudian, seri Bilangan Fu tersebut menjadi keberangkatan awal Ayu Utami
dalam menulis puncak istimewa yang di capai nya yaitu novel Bilangan Fu. Seri
Bilangan Fu sendiri memiliki perbedaan yang signifikan yang juga dengan matang
dikemas oleh penulis, Seri Bilangan Fu yang mengulas petualangan Sandi Yuda,
Marja, dan Parang Jati dibumbui dengan latar arkeologi dan khazanah budaya
semakin membuat jalan awal yang mulus untuk puncak novel Bilangan Fu itu
sendiri. Ayu Utami dalam novel Bilangan Fu dengan baik melukis petualangan
dengan narasi yang berisi gagasan-gagasan filosofis dalam setiap
petualangannya.
Bagi pembaca awam, novel ini akan menjadi
rumit sebelum akrab dengan 562 halaman yang di persembahkan. Ketebalan novel
ini akan menjadi carut marut yang tidak bersahaja alias belum mengenal dengan
tiga titik penting di dalamnya. Tiga titik tersebut dicantumkan pada bagian
daftar isi (Modernisme; Monoteisme; Militerisme) sebagai triangulasi yang
mungkin tidak akan dipahami oleh pembaca awam kecuali oleh penulis itu sendiri
yaitu Ayu Utami serta pembaca yang sudah terbiasa dengan novel kritis dan dapat
mengambil makna serta gagasan filosfis di dalamnya
Kisah ini diawali dengan sahabat sesama
pemanjat tebing yang memiliki pandangan berbeda, Yuda dengan pemikiran
modernisme-nya dan Parang Jati dengan spiritualisme kritis-nya. Kedua sahabat
ini saling berinteraksi dengan cara yang amat menarik, saling mempengaruhi
namun tetap saling menjaga.
Kisah mereka diawali dengan perseteruan di
antara keduanya soal cara memanjat, Yuda yang awalnya memilih
metode artificial climbing, mulai terpengaruh oleh Parang Jati dengan
idealismenya yang mencintai ibu bumi. Selain bergulat dengan curamnya tebing
Watugunung, mereka juga harus mengahadapi konflik spiritual yang terjadi di
masyarakat sekitar.
Peristiwa hilangnya mayat seorang penduduk
yang dianggap sakti mengawali kekisruhan antara kelompok masyarakat desa yang
masih percaya takhayul dengan kelompok monoteisme. Kelak perihal ini akan
dimanfaatkan oleh perusahaan penambang batu kapur setempat untuk mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya.
Kerusuhan kembali terjadi ketika desa mulai
diteror oleh sekelompok ninja yang memburu para tetua agama. Meski sudah
dicegah, ternyata tetua agama tetap berhasil dibunuh oleh kelompok misterius
tersebut. Mayat yang dikubur pun mendadak ikut menghilang, menambah nuansa
mencekam di antara penduduk desa.
Pembahasan bilangan Fu ada di dalam pikiran
tokoh utama, Yuda, yang sedang memperjuangkan keingintahuan mengenai perihal
ini. Berawal dari mimpi, ia merasa bahwa ini adalah bilangan mistis,
pertengahan antara nol dan satu, yang akan mengantarnya kepada petualangan dan
juga pergulatan pemikiran.
Latar tempat kisah ini kebanyakan di
pegunungan karst, Watugunung, lokasi yang menjadi tempat pemanjatan tokoh Yuda
dan teman-temannya. Gagasan penulis perihal spiritualisme kritis dimuntahkan
lewat tokoh Parang Jati yang idealis.
Saya akui, karakter Parang Jati memang luar
biasa dengan kompleksitas pikiran, ia mampu membawa Yuda, sekaligus pembaca
untuk banyak merenungi soal definisi benar dan salah dengan berbagai sudut pandang.
Bersama pembaca yang juga berevolusi, Yuda pun ikut memperluas pandangan,
memahami maksud dari takhayul desa yang selama ini ia anggap bodoh.
"Takhayul memiliki tujuan yang lurus
namun tidak jalan yang lurus. Sedangkan, modernisme memiliki jalan yang lurus
tapi tidak tujuan yang lurus."
Seringkali, takhayul adalah alat yang dipakai
untuk kepentingan bersama, sedangkan modernisme seringkali dipakai untuk
kepentingan individu. Itu adalah penggalan kalimat dari buku ini yang sangat
membekas buat saya.
Dengan membaca "Bilangan Fu", saya
jadi banyak berpikir soal diri yang suka menganggap remeh ritual yang sudah
ketinggalan zaman. Padahal ada makna dan maksud, sekaligus fakta yang akan
membuat tercengang.
Meski alur novel ini maju mundur, tapi hal
ini tidak menggangu plot cerita, justru menambah keasyikan dalam menikmati
setiap rentetan kisah yang sudah disusun penulisnya. Kisah masa lalu yang cukup
saya suka yaitu ketika penulis menceritakan soal Parang Jati kecil yang mampu
menjadi provokator halus sekelompok anak SMP yang sedang dilanda kekesalan.
Tokoh Parang Jati yang sering jadi sentral
gagasan dalam buku ini, banyak memberikan paparan atas sudut pandang yang baru
dalam menyikapi takhayul. Di mana ada kalanya kita sebagai manusia untuk bisa
berperilaku spiritualisme kritis, dengan tetap menghormati budaya lama, dan
menahan kebenaran untuk tetap berada di pundak. Karena pada nyatanya, dunia
tidak berjalan pada warna hitam dan putih. Terlepas dari setuju atau tidak atas
gagasan spiritualisme kritis ini, tak bisa dipungkiri bahwa gagasan ini luar
biasa.
Parang Jati, seorang bijak. Kelahiran pada
bulan Kabisat Kayu dan Mbok Manyar-lah yang menemukan bayi berjari dua belas
yang dibuang di sendang mata air ketigabelas, menamainya Parang Jati lalu
menitipkan kepada Suhubudi seorang ahli kebatinan agar di rawat dan dari kedua
orang inilah Parang Jati mendapatkan gnosis sanguinis; keseimbangan yang
terdapat dalam Bilangan Fu. Asuhan Suhubudi membuat Parang Jati menjadi pemuda
yang menguasai aneka kisah Babad Tanah Jawi. Ia bijak, teduh, iklusif namun
kritis sekaligus setia pada tradisi lama yang luhur, membuat nya semakin elegan
meski kisah tersebut sudah tertinggal zaman oleh orang-orang tertentu. Bersama
Parang Jati pula, Yuda terlibat dalam strategi budaya menghadapi kesempitan
fundamentalisme agama monoteisme yang mewujud dalam pribadi Farisi alias
Kupukupu beserta kelompoknya. Kupukupu sebenarnya adalah adik Parang Jati yang
juga ditemukan di sendang ketigabelas. Berbeda dengan Parang Jati, Kupukupu
dirawat dan dibesarkan oleh sepasang suami istri sederhana yakni Parlan dan
Mentel. Kehidupan keduanya berbanding terbalik antara Parang Jati dan Kupukupu.
Farisi alias Kupukupu yang bersekutu dengan atau tepatnya diperalat oleh
kekuasaan, kapitalisme dan militerisme, hingga akhirnya menjadi hakim jalanan
yang sewenang-wenang pada nilai-nilai tradisi lokal yang apabila tidak sejalan
dengannya di anggap menyesatkan padahal sekian lama tradisi lokal dan
kepercayaan tradisional memelihara alam Watugunung.
Selanjutnya dalam novel Bilangan Fu ini,
militerisme sebagai sarana agresi di tangan para tiran, tetapi tidaklah
bertanggung jawab jika penulis bermaksud mengambil sikap isolasionisme. Situasi
pada akhir novel ini menuntut adanya kerja sama antar segitiga tokoh utama diluar
pertahanan yang sangat rumit, bahkan bagi kelompok Farisi alias Kupukupu yang
menganut prinsip hak individu berpijak pada keputusan kelompoknya. Teror
intelijen dan pasukan gelap merajalela, memangsa penduduk yang di anggap
menyeleweng dari kaidah agama yang seharusnya. Penghulu Semar pun menjadi
korban. Setelah sebelumnya kegegeran terhadap kasus Kabur Bin Sasus (Pemuja
Sesajen) yang di anggap bangkit dari kubur. Parang Jati menyadari strategi
teror ini dan berusaha membongkarnya. Namun pada titik inilah, Parang Jati pun
menjadi target si Kupukupu alias Farisi, para penambang, dan militer ikut
memburunya.
Pada kesempatan menggali Goa Hu untuk
penelitiannya, Parang Jati dan Yuda menemukan sisa mayat-mayat yang dahulu
diisukan bangkit tersebut : Kabur bin Sasus, Penghulu Semar dan yang lainnya.
Ia dan Yuda beserta para peneliti lainnya diinterogasi. Celakanya, pokok
persoalan beralih, dari fakta bahwa peristiwa tersebut merupakan kerja
sistematis intelijen menjadi isu aliran keagamaan baru dengan Parang Jati
menjadi pendirinya. Akhirnya Parang Jati diajukan tuduhan utama. Bahwa ia
memimpin aliran sesat dan mencampuradukan ajaran agama dengan kepercayaan dan
ritual sesat dengan menggunakan mayat. Ia nyaris diadili para laskar Mamon
(manusia monoteisme fanatik) pimpinan Farisi alias Kupukupu yang terlihat
mengerti bahasa dan strategi militer. Namun ia sempat tertolong dengan
kedatangan dua polisi Karna dan Kumbakarna kenalan Yuda ketika keduanya masih
bertugas di pos jaga Watugunung. Parang Jati dibawa pergi.
Di tengah jalan, rombongan Karna, Kumbakarna
dan Parang Jati tiba-tiba di hentikan paksa oleh pasukan tak dikenal (Hlm.528).
Pasukan berjumlah sekitar sepuluhan itu memerintahkan ketiganya meninggalkan
mobil dan berjalan ke arah hutan dengan tangan di belakang kepala. Ketiganya
diberondong tembakan. Kedua polisi berhasil menyelamatkan diri, namun Parang
Jati tertembak, ia sempat melangkah ke puncak Watugunung, Mengambil dan
mengantongi batu endapan kelabu fosil labirin cangkang siput yang dahulu dilihat
Yuda, batu bertuliskan Bilangan Fu. (Hu dan Fu, sama terikatnya dalam
pengucapan ; Fosil labirin cangkang siput yang menjadi cover dari buku novel
Bilangan Fu). Ia menghembuskan nafas terakhir tatkala kepalanya dielus sang ibu
yang menemukannya dalam keranjang, Mbok Manyar.
Setelah kematian Parang Jati, Marja ke London
meninggalkan Yuda karena pedih dan trauma yang tak bisa mereka atasi (Hlm.
507). Karena, jika Yuda adalah bilangan satu, Marja bilangan nol dan Parang
jati adalah bilangan hu. Segitiga yang sisi-sisi nya melepaskan diri tanpa
melupakan satu sama lain. Dengan kenangan dan pengharapan yang lebih penting
adalah kebaikan, terutama kata-kata Parang Jati, Kebenaran itu selalu dalam
future tense. Kebaikan selalu present tense. (Hlm.521). Akhir kisah misteri
novel Bilangan Fu yang tragis namun menyisakan ruang bagi siapapun untuk
menyelaminya berulang-ulang. Termasuk Kupukupu yang terlihat murung dan
mengalami persoalan lain di sekitar lingkungannya : Eksistensi diri yang
terguncang.
Bilangan Fu, "Mengapa mengenai bilangan
kau hanya berpikir tentang urutan yang linear ? Lihatlah, ada bilangan yang
terjadi karena lipatan, dan mereka membentuk yantra yang konsentris".
(Hlm.305). Semua kebaikan memang menuju hal yang lebih baik seperti makna yang
bergerak dari oposisi pasti ke misteri, matematis ke metaforis, satu ke nol,
rasional ke spiritual, kesadaran modern ke takhayul, modern ke postmodern,
paksaan ke dialog, dari dirty climbing ke clean climbing. Laku
kritis dan Spritualisme kritis menjadi hangat untuk kemudian di pahami,
ditafsir dengan lebih baik dalam cara yang lebih terjangkau dalam novel ini
Novel Bilangan Fu ini adalah manifesto Ayu
Utami tentang sebuah sikap yang dianggap perlu diutamakan di zaman ini: sikap
religious atau pun spiritual yang kritis. Karena didalam novel
ini terdapat perdebatan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan hal
spiritual, seperti mistis, takhayul, sesajen dan juga kehidupan beragama
monotheisme.
Eksplorasi gaya penulisannya novel Bilangan
Fu ini layaknya menyusun puzzle-puzzle tadinya berantakan kemudian disusun satu
persatu hingga susunan puzzle menjadi cocok satu sama lain. Sekuel-sekuel yang
ada pada setiap bab yang tadinya sekilas tidak menyambung kemudian bisa
mengalir seperti memecahkan teka-teki setelah tahu kuncinya dan memahami materi
yang di tampilkan pada setiap bab yang terbagi dalam tiga bagian yaitu
Modernisme, Monoteisme dan Militerisme. Dari per bab tersebut terbagi dari sub
bab lagi yang lebih detail dan rinci. Dan satu tantangan lagi adalah penggunaan
diksi dan metafora yang berat membuat pembaca harus bolak-balik membuka
halaman-halaman sebelumnya untuk memahaminya kembali. Jadi bacalah kembali agar
menemukan pemahaman detail mengenai apa itu Bilangan Fu. Dan temukan kenikmatan
gairah pengetahuan dan misteri di dalamnya yang belum pernah anda dapatkan di
novel lain.
Komentar