(Review) Kumpulan Cerpen Corat-Coret di Toilet Karya Eka Kurniawan




Judul                           : Corat-Coret di Toilet
Penulis                         : Eka Kurniawan
Penerbit                       : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan                       : Ke-3
Tahun Terbit                : Juni 2016
Jumlah halaman           : 138 halaman
ISBN                           : 978-602-03-2893-5

Eka Kurniawan (lahir di Kota TasikmalayaJawa Barat28 November 1975 adalah seorang penulis asal Indonesia. Ia menamatkan pendidikan tinggi dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah MadaYogyakarta.  Ia terpilih sebagai salah satu "Global Thinkers of 2015" dari jurnal Foreign Policy. Skripsinya diterbitkan dengan judul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Aksara Indonesia, 1999; diterbitkan kedua kali oleh Penerbit Jendela, 2002; dan diterbitkan ketiga kali oleh Gramedia Pustaka Utama, 2006). Karya fiksi pertamanya, sebuah kumpulan cerita pendek, diterbitkan setahun kemudian: Corat-coret di Toilet (Aksara Indonesia, 2000).

Debut novel pertamanya meraih banyak perhatian dari pembaca sastra Indonesia, Cantik itu Luka  (terbit pertama kali oleh Penerbit Jendela, 2002; terbit kembali oleh Gramedia Pustaka Utama, 2004; diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Ribeka Ota dan diterbitkan oleh Shinpu-sha, 2006; dialihbahasakan oleh Annie Tucker (New Directions Publishing, 2015). Disusul kemudian oleh novel kedua, Lelaki Harimau (Gramedia Pustaka Utama, 2004) dialihbahasakan oleh Labodalih Sembiring dengan judul Man Tiger (Verso Books, 1 Oktober 2015). Pada tahun 2016, Man Tiger terpilih masuk nominasi panjang penghargaan The Man Booker International Prize 2016.

Karyanya yang lain adalah dua jilid kumpulan cerita pendek Cinta tak Ada Mati dan Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2005), dan Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2005; di dalamnya termasuk kumpulan cerita pendek Corat-coret di Toilet). Beberapa cerita pendeknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Swedia. Pada tahun 2014 Eka kembali mengeluarkan novel yang berjudul Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, dan di awal tahun 2015 ini, buku kumpulan cerpennya yang berjudul Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi dirilis.

Corat-Coret di Toilet memuat 12 judul cerpen yang ditulis selama periode tahun 1999-2000. Corat-coret di Toilet kali pertama terbit sekitar tahun 2000 oleh Yayasan Aksara Indonesia berisi sepuluh cerpen, kemudian diterbitkan ulang oleh Gramedia pada tahun 2014 dengan menambah dua cerpen lagi. Cerpen-cerpen tersebut adalah Peter Pan, Dongeng Sebelum Bercinta, Corat-Coret di Toilet, Teman Kencan, Rayuan Dusta untuk Marietje, Hikayat Si Orang Gila, Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam, Siapa Kirim Aku Bunga?, Tertangkapnya Si Bandit Kecil Pencuri Roti, Kisah dari Seorang Kawan, Dewi Amor, serta Kandang Babi.

Lewat kumpulan cerpen ini, Eka Kurniawan mengajak kita untuk menoleh lagi pada sejarah. Disajikan dengan cara yang sinis, satir, dan penuh humor, Eka Kurniawan berhasil menghadirkan ingatan tentang peristiwa masa silam. Dia berhasil menyajikan drama kecil kemanusiaan menjadi sebuah problem sosial. Lewat sudut pandangnya, persoalan-persoalan politik, tradisi, sejarah, dan kemanusiaan dikemas begitu singkat, padat, sekaligus tajam.

Tema paling dominan dari kumpulan cerpen ini adalah kemanusiaan, khususnya kritik terhadapnya. Lewat cerpen pembuka misalnya, “Peter Pan”, berbicara tentang politik. Cerpen itu berhasil mengkritik kegagalan reformasi 98. Perjuangan itu, akhirnya, hanya berhasil mengganti diktator tanpa perubahan yang berarti. “Kami mengangkat penguasa yang baru, tapi ia tak pernah dapat menyentuh kejahatan sang diktator,” demikian kata Tuan Puteri sambil meratapi Peter Pan, kekasihnya, yang “hilang”. Cerpen “Corat-Coret di Toilet” juga tak kalah pedas. Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. “Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet,” begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, “Aku juga.”

Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, “Hikayat si Orang Gilang”. Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat “Rayuan Dusta Untuk Marietje” dan “Siapa Kirim Aku Bunga?” Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang.

Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. “Pemujaan” terhadap keperawanan dan anggapan bahwa perempuan adalah mahluk lemah yang harus terus dijaga, hadir lewat cerpen “Dongeng Sebelum Bercinta” dan “Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam”. Keduanya mengambil perspektif dari perempuan yang dicurangi oleh tradisi patriarkis. Tradisi patriarkis memaksa perempuan tak bisa tumbuh jadi manusia mandiri. Mereka terpasung oleh tradisi, adat, norma, dan nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Peter Pan menjadi cerpen pembuka dalam kumpulan cerpen ini. Sosok Peter Pan ini representasi mahasiswa abadi alias mahasiswa yang belum kelar-kelar kuliahnya, lebih suka aksi di jalan dibandingkan mendengarkan dosen mengajar teori di kelas. Dalam pengakuannya pada Tuan Puteri yang dikenalnya saat masih sama-sama menjadi mahasiswa baru, ia mencuri buku dari perpustakaan-perpustakaan yang tersebar di seluruh pelosok kota, dari toko-toko buku maupun dari toko loakan. Ia berkata bahwa mencuri buku merupakan tindakan terkutuk, dan ia melakukannya dengan harapan bisa ditangkap sehingga ia akan tahu bahwa pemerintah memang mencintai buku dan benci para pencuri buku. Tapi dasar ia memang malang, ia tak juga ditangkap meskipun sudah ribuan buku ia curi. Peter pan ini juga representasi mahasiswa tahun 90-an, yang berani dengan kepemerintahan yang berlangsung selama 32 tahun kala itu. Ya beda banget dengan mahasiswa zaman sekarang, kebanyakan asyik nongkrong di kafe dan sibuk isi storygram dengan hal-hal yang berbau hedon. Maka jangan kaget mahasiswa zaman sekarang gampang tersulut ama berita hoax, ya maklum akun-akun yang diikuti kebanyakan akun-akun gosip.

Corat-Coret di Toilet bercerita tentang dinding toilet yang dipenuhi coretan yang berisi unek-unek dan aspirasi. Dinding toilet itu baru saja dicat namun seorang pengguna toilet yang iseng kemudian menuliskan unek-uneknya pada dinding toilet. Melihat satu tulisan di toilet, pengguna toilet berikutnya pun tergerak untuk ikut menulis hingga dinding tersebut penuh dengan coretan. Isi dalam cerpen ini menggambarkan dengan tepat kondisi masyarakat yang lebih senang menuangkan unek-unek serta aspirasinya pada dinding bukannya menyampaikannya secara langsung.

Buku ini ditutup dengan kisah Kandang Babi. Seorang mahasiswa yang tinggal di kampusnya untuk bertahan hidup. Dia seringkali berutang hanya untuk makan dan minum kopi serta berpenampilan jorok. Digambarkan Eka Kurniawan dengan sosok yang bodoh, mahasiswa tua tapi masih berada di kampus. Suatu waktu Dia dihadapkan dengan kenyataan bahwa Dia tidak boleh di tempat gudang disisi bangunan kampusnya. Dengan sabar mahasiswa itu mencari tempat baru disetiap sudut kampusnya dan hanya menemukan pos satpam yang tidak layak huni.

Tapi masih Dia tempati. Sampai Dia menyadari tidak mungkin untuk terus ditempat itu. Dia bertemu sahabat lamanya yang sekarang malah sudah menjadi seorang dosen dikampusnya.
Kisah sederhana ini membuatku berpikir ternyata dari ribuan mahasiswa yang ada di suatu kampus, pasti ada sosok mahasiswa yang tidak memiliki hidup mewah. Bahkan untuk makan saja susah. Mungkin tidak hanya dikalangan kampus, ditempat tinggal kita sehari-hari pun gambaran itu dapat dengan mudah dijumpai. Seseorang yang hidup dengan berhutang dan menutupi hutangnya dengan hutang yang baru kembali. Gali lobang tutup lobang yang entah kapan ada ujungnya.

Cerpen-cerpen dalam buku ini seakan menampar dengan tema-tema tak biasa. Eka mengajak pembaca berimajinasi dengan konsep-konsep cerita yang membangkitkan simpati pembaca untuk hadir setelah menelusuri setiap kisah-kisahnya yang terkadang dituturkan secara sarkastik. Pembaca boleh jadi akan terkejut-kejut tiap kali menikmati kisah-kisah Eka dalam buku ini, Eka memang piawai dalam menuliskan prosa cerita. Pada akhirnya, kumcer ini direkomendasikan untuk siapa saja yang berkehendak menikmati kisah-kisah tak biasa dari salah satu penulis luar biasa Indonesia.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Review) Naskah Drama Mega Mega Karya Arifin C. Noer

(Review) Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu Karya Joko Pinurbo