(Review) Kumpulan Puisi Melihat Api Bekerja Karya M Aan Mansyur
Judul :
Melihat Api Bekerja
Penulis :
M Aan Mansyur
Ilustrator :
Muhammad Taufiq (emte)
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit :
Oktober 2017
Cetakan :
Ke-6
Tebal buku :
160 halaman
ISBN :
978-602-03-1557-7
M
Aan Mansyur adalah pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan yang telah menerbitkan
beberapa buku, antara lain: Cinta yang Marah (2009), Tokoh-tokoh yang Melawan
Kita dalam Satu Cerita (2012), Kukila (2012), dan lain sebagainya. Puisi-puisinya
pun telah tersiar di pelbagai media massa. Dan
beberapa puisinya ada dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2. Selain
itu, buku puisi yang akan saya bahas kali ini, pun menjadi nominasi Kusala
Sastra Khatulistiwa ke-15.
Melihat
Api Bekerja adalah paduan puisi dan ilustrasi yang menggoda. Kata-kata dari Kak
Aan dan ilustrasi milik Muhammad Taufik (Emte) membuat buku kumpulan puisi ini
terasa semakin hidup. Kumcer ini dibuka dengan sebuah pengantar dari Sapardi
Djoko Darmono yang kita tahu juga seorang penulis puisi. Dalam judulnya
"Mendengarkan Larik-Larik Aan Mansyur" kita seperti diajak
berdiskusi, mendengar penuturan dari Sapardi tentang puisi-puisi Aan yang
berlagu seperti dongeng, bercerita tentang apa saja yang dia lihat. Sapardi
lebih banyak bercerita soal apa itu puisi, bagaimana puisi Aan lebih seperti
dongeng daripada ujud visual puisi itu sendiri.
Ada
54 judul judul dalam kumcer ini. Dalam puisi-puisinya tema yang menjadi latar
belakangnya adalah kisah perjalanan hidup seorang manusia dengan berbagai macam
konflik dan perasaan misalnya puisi berjudul ‘Pulang ke Dapur Ibu’ yang
bertemakan rasa rindu seorang tokoh aku pada kasih sayang ibunya atau puisi
yang berjudul ‘Telanjang di Depan Cermin’ yang bertemakan seorang tokoh aku
yang mencari refleksi dari seluk-beluk dirinya sendiri.
Membaca
Melihat Api Bekerja juga merupakan tantangan besar, karena dari 54 puisi yang
tersaji, beberapa ada yang menggunakan diksi yang teramat kental serta gaya stream of consciousness yang sulit
diikuti ujung pangkalnya sehingga dibaca sampai berulang kali pun tidaklah
cukup. Mungkin satu-satunya cara untuk mengerti adalah dengan membiarkan semua
kata-kata itu hanyut dan dengan sendirinya menciptakan perasaan-perasaan
artifisial yang ingin ditunjukkan Aan lewat puisi-pusi ini.
Namun
begitu, Aan Mansyur menyihir dengan puisinya yang bukan seperti penyair lain,
bukan pula seperti penyair angkatan '45, tetapi ia penyair yang lahir di era
kebahagian adalah "kebohongan", kebohongan adalah "kebodohan
membunuh anak kecil dalam dirimu sendiri", sendiri adalah "lagu
paling sedih", sedih adalah "guratan takdirmu dan ibumu", ibumu
adalah "pencipta kebahagian yang paling abadi". Semua itu adalah
potongan-potongan bait puisi yang terdapat dalam buku ini.
Pilihan
kata yang digunakan Aan Mansyur untuk membangun retorika sajak-sajaknya yang
sebagian besar merupakan alegori terasa tidak biasa, seringkali nyeleneh, absurd,
tak ragu main tabrak, tapi ajaibnya membuat kita semakin ketagihan dengan
permainan diksinya. Misalnya, saat Aan Mansyur ingin mendeskripsikan “mata”
pada puisi “Telanjang di Depan Cermin”
“Lekuk
teluk bibirku mencibir dua danau di atasnya. Tetangga yang tidak pernah saling
mengunjungi. Sepasang kesepian.” – Telanjang di Depan Cermin.
Satu
waktu, Aan Mansyur berusaha menulis dengan rapi, berima, dan teratur seperti
berikut :
“Aku
ingin belajar menangis tanpa air mata, perasan perasaan-perasaan yang lembap.
Aku percaya ada perihal semacam itu; peri yang memperindah hal-hal perih, batu
yang bertahan di alir air sungai, atau badai yang lembut. Aku tahu
ketelanjangan tempat bersembunyi bunyi yang lebih nyaring daripada sunyi.” –
Mendengar Radiohead.
Namun,
di lain waktu, ia terlihat tak ingin ambil pusing dan membiarkan kata-kata
berserakan begitu saja seolah sekonyong-konyong muncul dan menghujan dari arah
yang tak disangka-sangka, menuntut dijejalkan menjadi larik dan bait.
Terkadang,
dengan membiarkan apa adanya tanpa berusaha terlalu keras untuk mengerti adalah
cara terbaik untuk menikmati sesuatu yang belum kita mengerti.
“Bumi
tidak butuh banyak bulan. Bulan sendiri, pandai, dan kekanak-kanakan. Dia bisa
jadi pisang ambon, mangkuk pecah ibumu, atau martabak utuh jika kau lapar. Dia
akan menertawai kerakusanmu atau menjadi penuh ketika kau kosong" -
Menenangkan Rindu.
Salah
satu puisi yang saya sukai yaitu puisi yang berjudul Menyimak Musik di Kafe.
Di
kafe itu, orang-orang
berbahagia
demi menghibur
kesedihan
mereka. Aku berbahagia
karena
selalu bisa sedih pernah
memiliki.
(Menyimak Musik di Kafe, hal. 126)
Penggalan
puisi di atas menurut saya didasari oleh bentuk pencarian identitas diri, atau
ekspresi pembebasan diri dari seseorang yang merasa jenuh pada rutinitasnya.
Puisi
yang ditulis Aan tidak mudah dipahami, butuh konsentrasi penuh atau apa saja
yang dibutuhkan pembaca dalam memahami sebuah puisi. Puisi memang tak mudah
dipahami, namun Aan menempatkan puisinya dalam tingkatan yang berbeda,
puisi-puisi ini dikemasnya dengan bahasa yang terkesan acak-acakan, namun
sebenarnya tidak. Pada beberapa puisi dalam buku ini, Aan juga seperti menulis
dengan apa adanya, tak berbelit-belit dan pembaca dapat langsung mengerti.
Dari
segi desain buku tersebut, dihiasi ilustrasi yang mendominasi setiap sisinya
dengan nuansa analogi kreatif dari Emte. Pertanyaannya, mengapa gambar
ilustrasi lebih ditonjolkan, sedangkan kata-katanya sengaja dimuat dengan
sesederhana mungkin dengan ukuran huruf yang kecil? Ternyata, selain irit
penggunaan kertas saat dicetak, Aan Mansyur menjelaskan bahwa orang lebih
percaya jika harus melihat dan memperhatikan gambar dibandingkan membaca atau
mendengarkan kata-kata.
Komentar