(Review) Naskah Drama Los Bagados De Los Pencos Karya W.S. Rendra
Rendra dikenal dengan nama pena W.S. Rendra
di dunia kepengarangan. Lahir pada kamis kliwon tanggal 7 november 1935, tidak
diketahui pasti mengapa disetiap biografinya jika disertakan dan disebutkan
tanggal lahirnya selalu menggunakan penanggalan jawa dihari lahirnya, entah ini
sengaja atau tidak memang Rendra orang jawa tulen yang sejak kecil hidup dan
dibesarkan dalam lingkungan tradisi jawanisme yang kental. Hal ini tidak lain
dan tidak bukan karena ayah dan ibunya merupakan sosok yang sangat kental
dengan tradisi jawa ayahnya adalah seoang guru bahasa Indonesia dan pengajar
bahasa jawa kuna disebuah SMK katolik di Surakarta.
Oleh Ayahnya sejak kecil Rendra dididik untuk
menghargai kehidupan yang mandiri sebagai swasta yang bebas dari lembaga
eksekutif pemerintah. Beliau mendidik dengan keras agar Willy, begitu panggilan
Rendra menghargai disiplin analisis dan menghormati fakta-fakta obyektif di
dalam alam dan di dalam kehidupan. Selain itu dengan tanpa jemu ia juga selalu
mengajarkan gaya pemikiran Aristoteles.
Leluhur bapak dan ibunya berasal dari
Yogyakarta. Pada waktu perang revolusi kemerdekaan, pendidikan formal WS.
Rendra berhenti sebentar. Pendidikan Rendra yang terakhir adalah SMA St. Yosef
di Surakarta (tamat 1955), The American Academy of Dramatic Arts (tamat 1967).
Menjelang naik kelas 2 SMA di tahun 1953, Rendra menetapkan diri menjadi
penyair. Pada bulan Oktober 1967 ia mendirikan Bengkel Teater. Karya-karya
diterjemahkan dalam bahasa Hindi, Urdu, Korea, Jepang, Inggris, Rusia, Jerman,
Perancis, Cheko, dan Swedia.
Ibu Rendra bernama Raden Ayu Ismaidillah
seorang penari serimpi keraton Yogyakarata, mengajarkan dengan tekun peradaban
Jawa yang masih mistik dan religius kepada Rendra, sang Ibu mengajarkan
bagaimana mensyukuri panca indera dan melatih kepekaannya melewati olah kelana,
olah tapa dan samadhi menghayati nafas, kelenjar-kelenjar badan, tata syaraf,
daya intuisi dan kehadiran jiwa.
W.S Rendra adalah sastrawan
yang produktif, karyanya mulai dari naskah drama, prosa maupun puisi. Karya
naskah Drama W.S Rendra (Orang-orang di Tikungan Jalan (1954), Bip Bop
Rambaterata (Teater Mini Kata), SEKDA (1977), Selamatan Anak Cucu Sulaiman,
Mastodon dan Burung Kondor (1972), Hamlet (terjemahan karya William
Shakespeare), Macbeth (terjemahan karya William Shakespeare), Oedipus Sang Raja
(terjemahan karya Sophokles), Lisistrata (terjemahan), Odipus di Kolonus
(terjemahan karya Sophokles), Antigone (terjemahan karya Sophokles), Kasidah
Barzanji, Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan karya Jean Giraudoux)
Panembahan Reso (1986), Kisah Perjuangan Suku Naga, kerta kencana (terjemahan
Eugene Ionesco - Les Chaises). Karya Puisi W.S Rendra (Balada Orang-Orang
Tercinta (Kumpulan sajak), Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, Blues untuk
Bonnie, Empat Kumpulan Sajak, Jangan Takut Ibu, Mencari Bapak, Nyanyian Angsa,
Pamphleten van een Dichter, Perjuangan Suku Naga, Pesan Pencopet kepada
Pacarnya, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Rendra: Ballads and Blues Poem
(terjemahan), Rick dari Corona, Rumpun Alang-alang, Sajak Potret Keluarga, Sajak
Rajawali, Sajak
Seonggok Jagung, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, State of Emergency,
Surat Cinta, Pranala luar).
Los Bagados De Los Pencos berartikan kemakmuran dan kedamaian. Naskah yang ditulis W.S Rendra di masa orde baru ini berkisahkan tentang kesetaraan hak yang diinginkan penghuni Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Dalam RSJ tersebut dipimpin oleh seorang dokter yang penuntut dan perfeksionis bernama Dr. Rendra. Menurut sinopsis ceritanya, drama ini merupakan sebuah sandiwara yang tidak terasa keadilannya. Drama ini diperankan oleh dr. Rendra, Azwar, Linus, Mayon, Emha, Dedot, dan Koor.
Drama karya W.S. Rendra yang berjudul “Los
Bagados De Los Pancos” merupakan gambaran realitas sosial politik pada zaman
orde baru zaman rezim Soeharto yang terkenal sangat perfectsionis dan
otoriter dalam memimpin bangsa Indonesia saat itu, sehingga kebebasan publik
terhalang oleh pagar beton kekuasaan Soeharto yang melarang adanya
kritik-kritik sosial dalan konteks kebebasan pers dan media sebagai penyambung
informasi. Isu-isu politik mengenai keruhnya pemerintahan tersebar luas namun
rakyat saat itu tidak bisa berbuat apa-apa, rakyat hanya bisa membisu meskipun
hati serasa terbakar ingin mengakhiri kesewenang-wenangan pemerintah pada era
itu.
Soeharto yang terkenal dengan sebutan “tangan besi” yang secara jelas tergambar dari julukannya bahwa, pemerintahan yang dijalankan harus sesuai dengan keinginan pribadinya bukan atas dasar kepentingan bersama sebagai warga Negara Indonesia. Secara ekonomi memang pada masa itu sangat meningkat pesat dikarenakan adanya koreksi besar-besaran pada masa orde lama yaitu pada masa Presiden soekarno, dengan adanya koreksi tersebut ekonomi Indonesia berkembang pesat, namun ada kejanggalan yang terjadi ketika ekonomi Indonesia semakin pesat, yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela.
Terjadi kesenjangan sosial antara si kaya dan
si miskin karena proses sosial yang tidak wajar, adanya ekploitasi sumber daya
alam yang besar-besaran sehingga banyak alam yang rusak pada waktu itu. Seraca
ekonomi memang pada masa rezim soeharto perkembang pesat, namun tidak adanya
pemerataan karena terjadi kajanggalan-kejanggalan praktik pemerintahan.
Tampaknya hal tersebut disadari betul oleh Rendra yang ikut merasakan bagaimana
kerasnya hidup di masa orde baru, sebagai pengarang yang berlandaskan kritik
sosial, kemanusian dan politis hal yang dilakukan adalah berkarya. dengan
memotret situasi sosial yang terjadi yang kemudian digambarkan dari berbagai
tokoh yang representatif dalam drama yang berjudul “los bagados the los
pencos”.
Tak dapat dipungkiri lagi sastra merupakan
salah satu media untuk mengemukakan pendapat, Uneg-Uneg, kritikan,
dll. Biasanya karya Sastra di buat sebagai curahan image kehidupan, hal
itu dapat kita temukan dalam drama Los Bagados De Los Pencos yang
menyajikan gambaran seorang tokoh super di negeri ini dulu yang terkenal dengan
sifat kepemimpinannya “tangan besi/ otoriter”, dan perfectionisme,tokoh
tersebut tiada lain adalah mantan presiden RI soeharto, Watak
secara psikologis, sosiologis, maupun fisiologis penulis curahkan dengan sebaik
mungkin pada seorang tokoh dalam drama ini yaitu DR rendra. Tokoh DR rendra
merupakan seorang pimpinan di Rumah sakit (rumah sakit : gambaran lingkup
negera indonesia) yang sangat mengedepankan kesempurnaan dengan egoisitasnya
yang tinggi hal ini dapat kita lihat di cuplikan dialog-dialog berikut ini :
1.
2.
3.
4.
|
dr.Rendra
Azwar
dr.Rendra
Azwar
|
:
:
:
:
|
Goblok!
Jadi mantri kamu tidak bisa mengatasi kaum yang sinting dan majnun itu.
Bisamu hanya mengadu, hanya melapor melulu dan pada akhirnya rumah sakit ini berantakan.
Biar
mampus Dokter, saya tidak kuasa demi Sigmun Freut, demi Carl Gustaf Jung.
Saya sudah berusaha tapi segala-galanya sia-sia.
Tapi
kamu ada disini, kamu mantri keamanan yang mengatur stabilitas rumah sakit
ini. Kamu digaji untuk bekerja bukan untuk makan minum dan sekedar tidur
belaka
Saya
mengerti Dokter, semuanya sudah saya fahami sebagai mantri, dedikasi saya
besar pada rumah sakit ini.
|
Dari
dialog diatas kita bisa memahami bahwa tokoh dokter memiliki watak
yang perfeksionis, penuntut, dan seorang yang bertipe tau
beres,persis dengan tipe kepemimpinan soeharto dulu Dan sosok orang yang
menilai pekerjaan seseorang melalui materi (Kamu digaji untuk bekerja bukan
untuk makan minum dan sekedar tidur belaka), karena karakter tersebut ada dalam
dialog 01 maupun dialog 03 yang diucapkan oleh dokter kepada Azwar.
Sedangkan sosok Azwar adalah sosok yang penurut, selalu berusaha bersikap baik
kepada atasannya, dan sedikit memiliki sifat yang percaya diri (dedikasi saya
besar pada rumah sakit ini). Dan Azwar adalah tokoh yang suka membaca filsafat,
saya kira tokoh azwar merupakan gambaran pak Habibie, karena beliau merupakan
lulusan universitas di german sedangkan german sangat identik dengan filsafat
bahkan habibie pun saya kira pernah mempelajarinya di sana. adapun bukti bahwa
tokoh ini seorang yang cinta filsafat kita bis. temukan dalam dialog “demi
Sigmun Freut, demi Carl Gustaf Jung” karena bukan sembarang orang yang
mampu berucap dan bertanggung jawab atas ucapan tokoh filsafat seperti sigmud
freud yang terkenal dengan id, ego. Lokasi kejadian naskah drama Los
Bagados de los Pencos karya W.S Rendra telah dituliskan pada teks yang berada
di sebuah rumah sakit jiwa. Rumah sakit jiwa yang disebutkan W.S Rendra
sebenarnya merujuk kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tiruan realitas pada masa orde baru tergambar
jelas pada naskah drama Los Bagados de los Pencos karya W.S Rendra. Kejelasan
tersebut nampak pada tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam naskah seperti Dokter
Rendra, Azwar, penghuni rumah sakit jiwa, Linus Suryadi, Mayon Edi Sutrisno,
Emha Ainun Najisun, dan Dedot Muradin.
Tokoh Dokter Rendra sebenarnya adalah
presiden negara Indonesia pada masa Orde Baru yang tidak lain Presiden
Soeharto. Tokoh Azwar sebenarnya adalah wakil presiden negara Indonesia pada
masa Orde Baru yang tidak lain B.J. Habibie. Penghuni rumah sakit jiwa adalah
warga negara Indonesia. Linus Suryadi, Mayon Edi Sutrisno, Emha Ainun Najisun,
dan Dedot Muradin adalah para mahasiswa yang mempelopori demonstrasi memprotes
kebijakan pemerintah Orde Baru dengan menentang berbagai praktek korupsi,
kolusi nepotisme (KKN). Atau bisa jadi mereka adalah para mahasiswa Trisakti
yang tewas ketika melakukan demonstrasi (Elang Mulya Lesmana, Hery Hartanto,
Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan).
Komentar