(Review) Saksi Mata Karya Seno Gumira Ajidarma
|
Judul buku : Saksi Mata
Pengarang : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Bentang
Tahun Terbit : 2016
Jumlah Halaman : x ˖ 158
ISBN : 978-602-291-190-6
Jumlah Halaman : x ˖ 158
ISBN : 978-602-291-190-6
Seno Gumira Ajidarma adalah seorang penulis dari generasi baru sastra Indonesia. Beliau lahir di Boston, Amerika Serikat pada tanggal 19 Juni 1958. Putra dari Prof. Dr. M.S.A Sastrimidjojo, seorang guru besar FMIPA UGM. Beliau telah menulis beberapa buku, antara lain Atas Nama Malam, Wisanggeni – Sang Buronan, Biola Tak Berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, Negari Senja, dan Sepotong Senjan untuk Pacarku.
Selain
menulis, Beliau juga bekerja sebagai wartawan, fotografer, dan kritikus film
Indonesia. Seno menjadi seniman karena terinspirasi oleh Rendra yang santai,
bisa bicara, hura-hura, nyentrik, dan rambut boleh gondrong. Beliau juga sudah mendapatkan
beberapa penghargaan, salah satunya yaitu penghargaan SEA Write Award pada
tahun 1987. Kesibukan Seno saat ini adalah membaca, menulis, memotret,
jalan-jalan, selain bekerja di Pusat Dokumentasi Jakarta-Jakarta. Sekarang Seno
menjadi Rektor di Institut Kesenian Jakarta sejak 2016 dan tetap menjadi dosen
di Fakultas Film dan Televisi dan
Sekolah Pasca Sarjana IKJ, ISI Surakarta, dan UI.
Dalam kumpulan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Saksi Mata, menceritakan
beragam kisah penderitaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat yang terjajah
dan ditindas oleh serdadu pemerintah atau anggota militer yang dikirim ke
daerah terkait untuk menekan pemberontakan.
Enam belas cerita pendek yang terdapat dalam buku ini yaitu Saksi Mata, Telinga, Manuel, Maria, Salvador, Rosario,
Listrik, Pelajaran Sejarah, Misteri Kota Ningi, Klandestine, Darah Itu Merah
Jenderal, Seruling Kesunyian, dan Salazar, Junior, Kepala di Pagar Da Silva, dan Sebatang Pohon
di Luar Desa memiliki keterkaitan waktu
dan lokasi yang dapat terlihat dari peristiwa-peristiwa serupa yang dialami
oleh mereka serta nama-nama tokoh yang umumnya khas digunakan oleh masyarakat
Amerika Latin yang beragama Katolik. Ketika banyak penulis modern sejak sekitar
tahun 2010 baru memulai membuat kumpulan cerita pendek yang memiliki benang
merah antara ceritanya, Seno Gumira telah melakukan ini sejak 1994.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, sedikit
sekali pihak-pihak yang berani atau pun mampu bertahan setelah memberikan
kritik terhadap pemerintahan beliau, termasuk jurnalisme yang sangat ketat
pengawasan dan kontrolnya oleh pemerintah. Kumpulan cerpen ini bisa jadi bentuk
keprihatinan dan peran sastra sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Seno
sendiri, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”.
Melalui karyanya ini, Seno Gumira seolah juga
menunjukkan bahwa kemerdekaan jiwa raga itu mahal harganya – diperoleh setelah
melalui pengorbanan banyak nyawa bertahun-tahun lamanya. Dia juga seolah menyampaikan bahwa kita punya kecendrungan
untuk menjajah manusia lainnya ketika kita merasa lebih superior dan berkuasa
atas mereka, bahwa kita semua mewarisi sifat-sifat mengerikan manusia yang
membuat kita terkadang merasa malu pada diri sendiri dan sejarah kita.
“ SAKSI MATA”
Di
ruang pengadilan saksi mata itu datang tanpa mata. Dari lubang pada bekas
tempat kedua matanya perlahan-lahan dan terus-menerus mengucur darah yang
berwarna sangat merah. Para pengunjung pengadilan menjadi gempar dan
berteriak-teriak dengan emosi meluap-luap sementara para wartawan sibuk
memotret Saksi Mata itu dari segala sudut, membuat suasana semakin panas. Bapak
Hakim yang Mulia segera sadar dan mengetuk-ngetukkan palunya. Dengan sisa
wibawanya ia berhasil menenangkan hadirin, dan bisa memulai untuk menginterogasi
saksi tanpa mata tersebut.
Saksi
mata tanpa mata itu mengaku bahwa matanya buta karena diambil dengan sendok
oleh sekawanan ninja. Hadirin yang hadir di ruang pengadilan pun mulai riuh
kembali. Lagi-lagi Bapak Hakim mengetukkan palu supaya keadaan menjadi tenang,
lalu melanjutkan pertanyaannya. Bapak Hakim heran mengapa saksi mata tanpa mata
itu diam saja dan tidak melawan. Darah yang keluar dari matanya terus mengalir
memenuhi ruangan dan luber sampai ke halaman.
Saksi
mata tanpa mata itu menjawab dengan polos, bahwa sekawanan ninja yang berjumlah
sekitar lima orang itu mengambil matanya ketika ia tidur, jadi pada
kesimpulannya ia mengalami kejadian itu dalam mimpi. Orang-orang tertawa, Hakim
mengetuk lagi dengan marah, sembari berkata bahwa ruang pengadilan bukanlah
panggung srimulat.
Bapak
Hakim ragu akan pernyataan yang diberikan saksi mata tanpa mata itu, karena
tidak masuk akal dan absurd, tetapi ia tetap bersikeras bahwa kejadian keji itu
terjadi di dalam mimpi.
Bapak
Hakim berpikir bahwa saksi mata yang tidak mempunyai mata berhak untuk bersaksi
karena ingatannya tidak terbawa oleh matanya. Lalu Bapak Hakim pun berkata pada
saksi mata tanpa mata tersebut bahwa meskipun banyak saksi mata, tidak ada satu
pun yang bersedia menjadi saksi di pengadilan kecuali ia. Ruang pengadilan
menjadi gemuruh, semua bertepuk tangan termasuk Jaksa dan Pembela. Beberapa
orang mulai meneriakkan yel. Dan Bapak Hakim memberi teguran sekaligus pesan
bahwa jangan berkampanye di ruang pengadilan.
Dalam
perjalanan pulang, Bapak Hakim mulai memuji saksi mata tanpa mata itu kepada
sopirnya, dengan menghilangkan rasa bersalah ia pun menanggapi pembicaraan
dengan berkata bahwa keadilan tidak buta.
Menurut
saya, penulis cerpen ini ingin menggambarkan sebuah kondisi dimana keadilan
sudah tidak ada lagi. Cerpen ini dibuat dengan sedikit komedi terlihat dari
dialog antara hakim dan si saksi mata dan beberapa ucapan si saksi mata itu.
Cerpen ini menggambarkan seolah-olah keadilan telah dibungkam. Namun masih ada
orang yang ingin menegakkan keadilan. Dengan bahasa kias yang apik, penulis
berhasil menggambarkan betapa sulitnya keadilan ditegakkan pada masa itu.
Terdapat pula pesan-pesan tersirat dalam cerpen ini yang menggambarkan
penegakkan keadilan pada masa itu. Diksi yang digunakan dalam cerpen ini mudah
dicerna oleh pembaca sehingga pembaca dapat menyimpulkan apa maksud dari
penulis dengan jelas.
“TELINGA”
Juru
cerita pun menceritakan sebuah cerita tentang kekejaman pada Alina, yang
berjudul telinga. Diceritakan ada seorang gadis yang bernama Dewi, ia memiliki
seorang kekasih yang sedang bertugas di medan perang. Suatu hari ia menerima
sebuah kiriman yang berisi sepotong telinga manusia yang masih segar dan
berlumur darah. Terlampir juga sebuah surat yang intinya bahwa telinga itu diberikan
sebagai kenang-kenangan dari medan perang dan tanda rindu. Telinga itu adalah
milik seseorang yang dicurigai sebagai mata-mata, dan pekerjaan memotong
telinga memang sudah biasa dilakukan di medan perang bahkan dijadikan sebagai
hiburan dikala sedang bosan.
Lantas
Dewi menggantung telinga tersebut di ruang tamu. Walau sudah berhari-hari
telinga itu masih mengeluarkan darah hingga setiap pagi Dewi harus mengepel
lantai. Bahkan, kadang Dewi merasa kalau telinga tersebut bergerak-gerak
sendiri sehingga dia berkesimpulan karena telinga seorang mata-mata jadi
sukanya menguping.
Dewi
menulis surat kepada kekasihnya dan memberitahukan bahwa kirimannya sudah
sampai, ia juga mengatakan bahwa ia sangat menyukai kiriman telinga tersebut.
Di akhir surat ia bertanya pada kekasihnya. Bagaimanakah caranya orang-orang
yang telah dipotong telinganya itu tidak mendengar suara-suara?
Setelah
itu hampir setiap hari Dewi menerima kiriman telinga segar dari pacarnya yang
jumlahnya dapat mencapai lebih dari 50 buah. Karena jumlahnya yang sudah tidak
muat digantung diberbagai sudut rumah dan dijadikan perhiasan, akhirnya ia
bagi-bagikan ke tetangga dan teman-temannya.
Untuk
kedua kalinya Dewi menulis surat untuk kekasihnya yang berada di medan perang.
Dewi khawatir kalau-kalau pekerjaan memotong telinga sudah tidak bisa menghibur
hati kekasihnya. Dan di akhir surat lagi-lagi ia bertanya, kenapa begitu banyak
orang yang pantas dicurigai?
Nun
di medan perang pacar Dewi sibuk membantai orang. Dari sebuah kubu
perlindungan, pacar Dewi menulis surat balasan yang isinya menjawab semua
pertanyaan Dewi tentang bagiamana caranya agar orang-orang yang telah dipotong
telinganya tidak mendengar suara-suara. Ia menjawab bahwa ia dan kawan-kawannya
pun tidak mengetahuinya sehingga mereka sepakat untuk sekalian saja memenggal
kepala orang-orang yang dicurigai. Bahkan ia juga menwari Dewi kepala-kepala
tersebut untuk kenang-kenangan.
Setelah
juru bicara selesai bercerita, Alina pun berkata bahwa kekasihnya Dewi sangat
kejam, tetapi si juru bicara menjawab meskipun begitu banyak orang yang
menganggapnya pahlawan.
Cerpen
ini memang menggambaarkan kekejaman prajurit di medan perang yang memotong
telinga bahkan memenggal kepala siapa saja yang dianggap sebagai mata-mata.
Cukup jarang tema seperti ini diangkat dalam sebuah cerpen. Namun apabila
digali lebih dalam, cerpen ini ternyata mengangkat peristiwa Dili 1991. Bagi
saya, cara penulis menggambarkan peristiwa yang ia angkat ke dalam sebuah cerpen sangatlah apik. Dari pembacaan sekilas, tidak nampak
bahwa cerpen ini bermaksud mengangkat peristiwa itu. Penulis menggunakan makna
kias sehingga cerpen ini tidak terkesan to
the point mengarah pada peristiwa yang dimaksud. Kekejaman tergambar jelas
dalam cerita ini. Apabila dibaca sekilas, itu terlihat hanya sekadar fiktif.
Namun apabila kita menggali lebih dalam, cerpen ini sarat akan makna dan pesan
moral.
“MANUEL”
Cerita ini mengisahkan seorang pria bernama Manuel yang bertemu dengan seorang
intel di sebuah bar, tetapi ia tidak mengetahui identitas asli dari orang
yang ia ajak bicara. Manuel menceritakan semua pengalaman hidupnya dengan
setengah sadar karena mabuk kepada intel tersebut sampai akhirnya ia
ditangkap karena memang ia adalah seorang buronan.
Namanya
Manuel, kulitnya hitam, rambutnya lusuh, keriting, dan agak kemerah-merahan.
Seorang pria yang sejak umur 5 tahun terpisah dari Ibu dan adiknya yang masih
bayi karena penyerbuan dan pemboman yang terjadi di desanya. Ayahnya meninggal
karena dibunuh oleh teman-temannya sendiri yang kata orang bahwa teman-teman
ayahnya adalah pengkhianat.
Ia
mengaku hidup di hutan hingga umurnya menginjak 17 tahun. Selama hidupnya ia
selalu dihantui oleh bayang-bayang kematian. Hidup di hutan bergerombol dengan
yang lain yang kebanyakan adalah anak yatim piatu membentuk suatu kelompok
pemberontak. Saat ia kembali ke kotanya dulu semuanya telah berubah, penuh
dengan pasukan asing, banyak mata-mata berkeliaran yang mencurigai segala
gerak-geriknya.
Intel
itu berpikir bahwa hidup yang dialami Manuel dipenuhi oleh penderitaan, lihat
saja penampilannya yang terlihat seperti orang berumur 30-an padahal umur
aslinya 21 tahun. Manuel adalah seorang yang tabah, dan pemberontak yang tabah.
Sepanjang intel itu bekerja sebagai intel ia tidak pernah menemukan pemberontak
seperti Manuel, biasanya seorang pemberontak itu berbahaya. Intel tersebut
merasa bahwa dalam menjalankan misinya malam ini ia kurang berhati-hati mungkin
karena mereka sama-sama dalam keadaan kesepian.
Perjuangan,
begitulah, toh tetap harus dilakukan dalam kesendirian.
Cerpen
ini hampir mirip dengan cerpen sebelumnya dalam buku kumpulan cerpen “Saksi
Mata”. Penulis menggambarkan suatu peristiwa dengan cara yang tidak secara
langsung menuju ke peristiwanya. Bagi saya, akhir dari cerpen ini sangat tidak
terduga. Pada awalnya saya kira bahwa lelaki yang menjadi teman Manuel
bercerita adalah kawannya. Tak disangka lelaki itu ternyata adalah seorang
intel yang memang mengincar Manuel untuk ditangkap. Didalam cerpen ini juga
digambarkan kekejaman aparat. Terlihat dari saat Manuel bercerita tentang
neneknya yang berusia 74 tahun dipaksa memakan kulit pipinya sendiri yang
diiris karena ia adalah seorang yang dicurigai.
Penderitaan
dalam cerita ini tergambar jelas hingga akhir cerita dimana intelitu berkata
“Saya pikir ia berumur 30. Apakah penderitaan membuat seseorang bertambahtua?
Tapi, saya tidak memiliki kesan bahwa Manuel menderita. Ia seorang yang tabah.
Dan, pemberontak yang tabah, sepanjang pengetahuan saya sebagai intel, adalah
pemberontak yang berbahaya. Sayang, ia kurang hati-hati malam ini. Barangkali,
seperti juga saya, ia sedang kesepian,
begitulah, toh tetap harus dilakukan dalam kesendirian.” Dari kalimat yang
diucapkan intel tersebut juga dapat diketahui bahwa ternyata Manuel telah lama
diburu. Dan pada malam itu sayangnya ia kurang berhati-hati, ia malah
membeberkan identitasnya secara terang-terangan karena ia sedang mabuk dan
mungkin kesepian. Kesepian itu sendiri juga adalah penderitaan bagi setiap
manusia tak terkecuali intel itu. Dan kalimat terakhir yang diucapkan oleh
intel itu menjadi akhir yang tidak terduga dari cerpen ini. “Sorry, Manuel, engkau ditahan.
“MARIA”
Sudah
setahun Maria menunggu anak laki-laki bungsunya, Antonio. Sudah setahun juga
Maria membiarkan pintu pagar, pintu rumah, dan jendela-jendela terbuka agak
lebih lama setiap senja, karena barangkali saja akan kelihatan olehnya Antonio
berjalan pulang dan memeluknya sembari berseru “Mama!”
Betapa
Maria merindukan Antonio, Antonio yang hanya tahu bergitar dan berdansa, anak
bungsunya yang tampan, dengan suaranya yang halus dan matanya penuh kasih
sayang. Maria telah kehilangan suaminya Gregorio yang perkasa, kata orang ia
telah mati dan tubuhnya telah hancur berkeping-keping. Maria juga telah
kehilangan Ricardo, anak sulungnya yang bersumpah akan membalas dendam atas
kematian ayahnya. Kata orang juga ia telah menjadi mesin perang yang sangat
kejam, Ricardo telah menjadi penyiksa.
Kehilangan
Gregorio menghancurkan hatinya, kepergian Ricardo mematikan jiwanya, dan
kehilangan Antonio mengacaukan kerja otaknya.
Pintu
masih terbuka. Diluar Maria melihat tentara berbaris-baris, sudah
bertahun-tahun mereka berbaris seperti itu. Pintu pagar belum ditutupnya meski
hari sudah gelap. Tiba-tiba saja sesosok tubuh itu sudah berdiri dihadapannya
yang langsung berlutut dan memeluknya.
Antonio
telah kembali, tetapi Maria tidak mengenalnya. Kepalanya penuh pitak seperti
hutan gundul, dengan cukuran yang tidak teratur. Matanya yang sebelah kiri
tertutup. Wajahnya penuh dengan bekas luka. Coder diagonal dari kanan ke kiri,
dari kiri ke kanan. Ia tidak bertelinga. Hidungnya seperti pindah dari
tempatnya semula. Mulutnya mencong dan gigi depannya ompong. Bajunya lusuh,
tidak bersandal, dan segenap kuku jari-jari kaki dan tangannya nampak telah
dicabut paksa. Ia sangat kurus dan kering.
Maria
langsung mengusir pemuda rongsokan tersebut yang aslinya adalah anaknya
sendiri, Antonio, sambil berteriak-teriak tidak terima. Antonio menghela napas
panjang, mimpi-mimpinya selama 365 malam terhapus dalam 1 detik saja.
Sebelum
pergi ia berkata pada mamanya bahwa ia tidak tahu lagi tempat mana lagi yang
paling baik untuk kembali selain ke rumahnya. Ia berpikir barangkali memang
belum waktunya bagi mereka untuk merasa bahagia. Ia juga mengatakan bahwa
rupa-rupanya bumi ini memang sudah bukan rumahnya lagi.
Cerpen
ini masih menggambarkan tentang kekejaman seperti cerpen-cerpen sebelumnya
dalam buku kumpulan cerpen “Saksi Mata”. Namun terdapat hal menarik yang
membedakan cerpen ini dengan cerpen-cerpen sebelumnya. Dalam cerpen ini
disiratkan pesan tentang kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Tergambar
jelas dari Maria yang menunggu-nunggu kepulangan anaknya, Antonio yang pergi
entah kemana dan tak kunjung pulang hingga setahun beralalu. Namun saat Antonio
pulang, Maria tidak mengenalinya karena penampilannya telah berubah menjadi
sangat buruk karena ia habis disiksa. Dalam cerpen ini saya menangkap bahwa
digambarkan disitu sifat egois manusia yang tak mau menerima sesuatu yang tidak
diinginkannya. Bahkan seorang ibu pun bisa tidak lagi menginginkan anaknya
karena fisiknya sudah berubah. Saya tak mengira di akhir cerita Antonio yang
kepulangannya sangat ditunggu-tunggu oleh Maria malah diusir saat itu juga.
Dari cerpen ini saya menangkap pesan bahwa setiap manusia memiliki kelebihan
dan kekurangan. Setiap manusia tentu memiliki kasih sayang. Terlebih kasih
sayang seorang ibu kepada anaknya. Namun manusia juga tak bisa luput dari
keburukan, bahkan seorang yang dianggap mulia sekalipun
“SALVADOR”
Pandangan mata orang-orang di jalanan mengikuti mayat Salvador yang diseret
perlahan-lahan oleh seekor kuda dengan kepala tertunduk. Seorang serdadu duduk
di atas kuda yang menyeret mayat itu dengan tubuh dan kepala tegak karena
mengenakan helm yang melindungi wajahnya dari pasir beterbangan. Di belakang
mayat itu seorang juru warta menunggang kuda sambil membawa gong. Di belakang
juru warta itu satu peleton serdadu berkuda mengawal dengan langkah serempak.
Setelah berhenti diperempatan kota. Juru warta itu memukul-mukul gongnya dan
berkata sambil meneriakan pengumuman bahwa inilah mayat Salvador, seorang
maling ayam yang telah dihukum tembak sampai mati dan mayatnya akan digantung
di gerbang kota, dan peringatan bagi orang-orang yang berani membangkang. Mereka
biarkan para serdadu menggantung mayat Salvador di atap gerbang kota yang dulu
dibangun para penjajah. Mereka pehatikan bagaimana pada dada Salvador
digantungkan pamphlet lebar bertuliskan MALING AYAM.
Sejarah telah menyapu kota yang terpencil dan tandus itu dengan darah dan
meskipun darah yang tumpah ke tanah gersang cepat kering tapi tiada seorang pun
melupakannya.
Menjelang fajar, seorang pengembara tiba di gerbang kota itu menunggangi seekor
keledai. Ia melihat mayat-mayat serdadu bergeletakan dan komandan mereka
digantung di gerbang kota itu. Di leher komandan itu tergantung pemflet
bertuliskan MALING AYAM.
Pada tembok
gerbang kota, ia membaca kata-kata yang ditulis dengan darah yang masih basah:
Kuambil jenazah
Salvador,
Pemimpin kami
yang berani.
Aku, Carlos
Santana,
Kini memimpin
perjuangan.
Pengembara itu membalikkan keledainya berjalan mejauh, tidak jadi memasuki kota
sambil berbicara pada keledainya kalau ia tidak mau terlibat.
Gaya bahasa yang
digunakan pada cerpen ini sangat kental. Jalan ceritanya pun menarik yaitu
seorang yang dihukum mati karena menjadi maling ayam, ini menggambarkan
penyimpangan hukum yang ada di Indonesia. Orang korupsi yang mencuri uang
rakyat hingga milyaran jumlahnya dihukum paling berat hanya lima tahun
sedangkan seorang maling ayam yang amatir bisa dihukum tidak sebanding dengan
kesalahannya yang hanya maling ayam yang harganya pun tidak seberapa, belum
lagi diadili oleh masa.
“ROSARIO”
Dokter muda itu masih tetap saja memaksa Fernando untuk berterus terang
mengatakan yang sesungguhnya mengenai Rosario yang sudah ngendon diperutnya
selama 20 bulan. Fernando masih menundukkan kepala. Mulutnya bergerak-gerak
dengan gemetar. Seluruh gambar peristiwa yang dialaminya 20 bulan yang lalu itu
sudah berkelebat dengan jernih di benaknya, namun lidahnya tak jua bergerak.
Fernando melirik. Perutnya sakit sekali, tapi hatinya lebih sakit lagi.
Kesakitan seseorang yang telah terhina, tersinggung, dan dilecehkan. Sempat
terlintas di benaknya untuk menyuruh dokter itu menelan stetoskopnya sendiri.
Fernando berusaha keras untuk bicara, hingga akhirnya ia meneriakan kata
“bayonet”, tetapi setelah itu ia jatuh pingsan. Di rumah sakit, sambil
memandang Fernando yang sedang diinfus, dokter muda itu mencoba
menghubung-hubungkan kata “bayonet” yang diucapkan Fernando dengan keberadaan
Rosario tersebut dalam perutnya. Ia tahu apa itu bayonet, pisau panjang yang
terletak di ujung senapan. Seorang serdadu akan menggunakannya dalam
pertarungan jarak dekat, ketika peluru habis atau tidak smpat ditembakkan.
Diam-diam dokter itu kagum, betapa seseorang bersedia mengorbankan jiwa untuk
pekerjaannya.
Ketika foto rontgen itu jadi, mula-mula ia tak tahu bahwa benda-benda bulat itu
adalah Rosario. Ia heran mengapa benda tersebut bisa ditelan oleh Fernando.
Kalau Fernando tidak bisa menceritakannya mungkin ada orang lain bisa
menjelaskan. Sekarang ia telah tahu bahwa Fernando mempunyai keluarga tetapi
tidak seberuntung yang dipikirkan. Bapaknya hilang ketika rumahnya digerebek
pada suatu malam, kakanya mati dalam tahanan, adiknya pergi dari rumah masuk
hutan, dan ibunya mati tertembak.
Rosario dalam perut Fernando masih terbayang ketika dokter itu pulang berjalan
kaki melewati kuburan. seorang perawat kulit hitam yang menganjurkannya, ia
berkata jika ingin memikirkan tentang Rosario harus di kuburan yang sedang ia
lewati. Dokter itu berpikir keras, karena ia ingin mengetahui bagaimana
Fernando menelan Rosario yang rasanya tidak manis, tidak asin, dan juga tidak
pahit. Lalu, ia juga penasaran mengapa Fernando mengucapkan kata “bayonet”.
Sementara itu, dalam komanya, Fernando pergi ke masa lalu, ketika seorang
serdadu memaksanya menelan Rosario di kuburan, dengan bayonet terhunus yang
bersimbah darah.
“Kemerdekaan adalah impian yang terkutuk.” Kata serdadu sambil menempelkan
bayonet ke pipi Fernando. Dokter itu memang sudah lupa, peristiwa itu pernah
ada.
Bahasa
yang digunakan penuh isyarat terlihat dari penggambaran bahwa Fernando
mengalami trauma akan masa lalunya selain sakit yang dideritanya karena rosario
yang ada di dalam perutnya.
“LISTRIK”
Lebih dari 1500 tahu yang lalu, bangsa Yunani kuno menemukan jenis batuan yang
jika digosokan dapat menarik partikel dan dari sinilah lahirlah istilah
elektron. Pada abad XII, Otto von Guericke menemukan generator elektrostatik
yang merupakan arus listrik cepat pertama. Pada tahun 1786, Luigi Galvani
melalui penemuan-penemuannya telah membuka pintu pada berbagai penemuan lain.
Masih pada abad XVII, Dr. William Watson membuktikan bahwa tubuh manusia bisa
dilalui listrik.
Pada tahun 1993 listrik digunakan untuk meyetrum Januario. Jeritannya terdengar
mengoyak malam. Menerobos keluar dari ruang interogasi, setiap kali dua jepitan
itu bagai kepiting menancap ketiaknya. Tahanan itu betul-betul menjadi tahanan
dalam rumus R=E/I dimana arus proton dan electron dengan tegangan 110 volt
menggasak Januario bertubi-tubi.
Meskipun telah disiksa sedemikian rupa, Januario masih tetap saja bungkam. Ia
masih ingat, banyak peristiwa yang terjadi setelah ibunya mengiriminya surat
dari tempat asalnya, yang isinya ia dapat diterima di tim yunior FC Porto dan
di tempat aslanya sedang terjadi kudeta tetapi keluarganya baik-baik saja. Pada
saat itu memang Januario tinggal di Eropa bersama Paman Eusebio.
Januario sudah
lama melepaskan impiannya sebagai pemain sepak bola termahal di dunia. Dalam
usia 33, terlalu banyak peristiwa sudah dialaminya, yang membuat tidak mungkin
lagi mementingkan impian-impiannya sendiri. Sahabatnya, Alfredo, telah lama
tewas diumurnya yang masih 17 tahun ketika serdadu asing memberondongnya dari
belakang. Setahu kemudian sahabatnya lagi, Cornelio binasa kena pecahan bom. Tinggallah
Aflonso bersamanya, bergerak dalam organisasi klandestin di dalam kota. Namun
Aflonso mati tertembak saat umurnya 30 tahun. Dan kekasihnya, Esterlina,
diperkosa dan dianiaya oleh orang-orang yang menginginkan identitas dan
keberadaan dirinya.
Pemeriksaan tetap berlanjut sambil diselingi dengan penyetruman tetapi sekali
lagi ditekankan bahwa Januario tetap saja enggan untuk mengatakan mengenai
siapa yang menyuruhnya meminta suaka.
Cerpen ini diawali
dengan sebuah pengetahuan tentang penemuan listrik yang digunakan sebagai
pengantar oleh pengarang untuk masuk ke inti cerita. Listrik ditulis
setelah membaca laporan Amnesti Internasional mengenai perlakuan yang diterima
napol yang terlibat Tragedi Dili.
“PELAJARAN
SEJARAH”
Pada jam pelajaran sejarah, Guru Aflonso membawa murid-murid kelas VI ke tempat
bersejarah itu. Aneh, pikirnya, setiap kali datang ke tempat ini mereka
terdiam. Padahal mereka adalah kanak-kanak yang sungguh-sungguh nakal. Inilah
kedua kalinya Guru Aflonso membawa murid-muridnya ke pekuburan itu.
Guru Aflonso belum lupa peristiwa itu. Bagaimana bisa lupa saat penembakan
mereka dibagi dalam dua barisan. Kini murid itu bertanya mengapa ada pelajaran
sejarah yang harus diajarkan di luar kelas. Guru Aflonso menghela napas. semua
pertanyaan muridnya adalah pertanyaan yang jujur, sebenarnya ia pun sudah punya
jawaban di kepalanya, tapi yang keluar dari mulutnya selalu lain.
Guru
Aflonso sudah lama memikirkannya, bagaimana caranya menceritakan semua itu
tanpa harus menjadi terlalu mengerikan. Tanpa cerita tentang darah yang
memerahkan aspal, tanoa cerita tentang kepalanya sendiri yang ditendang,
bajunya dicopot untuk mengikat tangan, dan kepalanya dipukul dengan popor
senjata sampai berdarah, sementara teman disampingnya dipukul dengan kayu yang
berpaku ujungnya. Guru Aflonso sudah lama mencari jalan bagaimana caranya
mengajarkan sejarah macam itu tanpa rasa amarah.
Guru
Aflonso sedang berpikir, bagaimana caranya menyampaikan pelajaran sejarah itu
sebaik-baiknya, ketika matahari semakin bertambah tinggi. Anak-anak menunggu,
sambil bertopang dagu, tapi mata mereka tidak lepas dari Guru Aflonso. Maka
Guru Aflonso pun berkisah.
Sebenarnya,
seluruh cerita Guru Aflonso itu sudah pernah mereka dengar, bahkan sudah hafal
di luar kepala, tapi kini mereka mengerti, itulah sejarah, yang tidak tertulis
dalam buku-buku pelajaran sejarah.
Amanat yang tersaji
dalam cerpen ini mengenai
sebuah sejarah yang sengaja disembunyikan oleh para petinggi untuk menutupi
kebusukan para aparat negara itu sendiri. Sejarah yang seharusnya diketahui oleh
semua masyarakat malah disembunyikan dan ditutup rapat-rapat.
Cerpen
yang berkisah tentang kebimbangan seorang guru dalam menceritakan kebenaran
sejarah yang begitu pahit tentang tempat tinggal mereka kepada murid-muridnya.
Sangat sarat makna dan di bagian akhir cerita kita akan menemukan kalimat yang
semakin membuka pemikiran kita terhadap cerpen ini dan menhubungkannya dengan
hal yang ada di dunia nyata “…itulah sejarah, yang tidak tertulis dalam
buku-buku pelajaran sejarah.” Mungkin banyak sejarah penting yang tidak
diketahui masyarakat, sengaja disembunyikan karena akan merugikan aparat negara
sendiri.
“MISTERI
KOTA NINGI”
(atawa
The Invisible Christmas)
Cerpen ini mengisahkan tentang pengawai sensus biasa yang menurutnya hidupnya
tidak menarik sedikitpun. Kali ini ia ditempatkan disebuah kota bernama Ningi,
di sinilah ia menemukan sebuah hal yang lain, berbeda dari kota-kota yang
pernah ia singgahi. Di kota Ningi, dari tahun ke tahun penduduknya makin lama
makin berkurang, inilah satu keanehan dari keanehan-keanehan yang ia temui
selama tinggal di kota tersebut.
Pada hari pertama masuk kerja, ia memasuki sebuah rumah dan menemukan satu hal
ajaib. Ia hitung seisi rumah, ada tujuh orang di sana tetapi ibu rumah menjawab
bahwa aslinya ada depalan, sambil tangannya menunjuk ke meja makan. Di sana
dapat ia lihat ada nasi dan lauknya serta ada garpu yang melayang-layang
sendiri serta bunyi kerupuk yang sedang dimakan.
Ibu itu berkata bahwa yang melakukannya adalah Adelino, saudaranya yang
ditangkap, diinterogasi, dan dipukuli sampai mati. Ia keluar rumah itu dengan
kepala pusing, lalu cepat-cepat masuk lagi ke sebuah rumah lain mencoba
melupakan kejadian di rumah yang tadi. Tapi, begitulah, Ningi agajnya adalah
sebuah kota yang betul-betul ajaib. Disetiap rumah yang ia masuki selalu ada
saja makhluk-makhluk yang tak kelihatan. Dengan begitu bisa disebutkan,
penduduk kota itu terdiri dari orang-orang kelihatan dan tidak kelihatan.
Orang-orang kota Ningi selalu menyebut orang-rang yang tidak kelihatan itu
sebagai “saudara kami” dengan wajah dingin.
Bertahun-tahun tinggal di kota Ningi membuatnya mejadi terbiasa dengan
orang-orang yang tidak kelihatan, meski tak pernah bisa memahami maknanya
dengan tuntas. Dan dari tahun ke tahun penduduknya semakin berkurang. 15 tahun
hidup di kota itu membuat hidupnya sungguh-sungguh kesepian. Siang hari bekerja
menghitung orang, malam hari tidak berani keluar rumah karena ada gerombolan
bertopeng seperti ninja. Sebenarnya tiak mungkin para ninja itu memasuki
rumanya karena ia hanya seorang pendatang dan selama ini gerombolan bertopeng
itu hanya memasuki rumah penduduk asli Ningi. Semuanya terjadi, sampai penduduk
kota Ningi habis sama sekali.
Seperti
cerpen-cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen ini yang juga memiliki makna
tersirat. Menurut sumber yang saya peroleh, ide cerita cerpen ini memanfaatkan
sebuah statistic kependudukan kota Dili dan Timor-Timur yang ditengah
meledaknya pertumbuhan penduduk, ternyata jumlahnya secara misterius makin lama
semakin berkurang. Statistik itu termuat dalam penelitian George Junus Aditjondro,
seorang aktivis yang selalu mengemukakan fakta dengan akurat. Menurut saya
ide cerita yang diambil sangatlah kreatif sehingga cerpen ini sangat layak
untuk dibaca.
Sumber:
Sukarno, Lukti.
2010. “Review Trilogi Insiden”. Diunduh pada laman: https://luckty.wordpress.com/2010/06/.
“KLANDESTIN”
Cerpen ini menceritakan seseorang yang sedang merasakan pertikaian dalam
otaknya. Ia berpendapat bahwa sistem adalah musuhnya. Dia berpikir bahwa sistem
harus dilawan dengan sistem. Ia berpikir saat menerima tawaran mata-mata suatu
kaum pemberontak. Ia membuka tutup gorong-gorong lalu disambut dengan kalungan
bunga bangkai dituntun menuju pimpinan melewati sebuah lorong yang gelap dan
panjang.
Ia telah memasuki sebuah kota di bawah tanah. Menurut pemandu yang menuntunnya
sudah tiga generasi orang-orang beranak pinak di sana. Ia melihat orang-orang
mencetak selebaran dan orang-orang berpidato diberbagai tempat dalam kerumunan.
Banyak orang di sana, orang-orang berseragam dengan wajah tegang sesekali
membawa tawanan yang berdarah-darah. Pemandu itupun berbisik bahwa mereka telah
melakukan terror, menculik orang-orang dari atas lewat gorong-gorong, dan
memperlakukannya sebagai budak dengan cara menelepon sambil tangannya menunjuk
telepon umum gratis tinggal putar, kalau mau mereka bisa muncul di mana saja,
membunuh seseorang, melempar granat, atau memasang bom, lantas menghilang
kembali. Alangkah rapuhnya kekuasaan di atas itu.
Benar-benar sebuah sistem yang menhancurkan sistem pikirnya. Berjuta-juta orang
mengebor di bawah tanah, sebuah cara berperang yang baru. Siapa kawan siapa
lawan. Terbayang dalam benaknya sebuah kejadian yang mengerikan.
Tanpa ia sadari, ia melihat sebuah baliho besar sepanjang dinding gua. Ia lihat
gambar pemimpin mereka. Samar-samar ia mengenalinya dan ternyata gambar itu
adalah gambar pemandu tadi yang menuntunnya. Ia mulai tersenyum dan mencari
jalan keluar. Ia tidak perlu komplotan, tidak juga bergabung dengan siapa pun,
bahkan tidak memerlukan sistem perlawanan yang paling canggih di dunia
sekalipun. Ia menemukan jalan keluar atas kegundahannya selama ini yaitu, ia
tidak perlu menghancurkan sebuah kota yang ia perlukan adalah membebaskan pikirannya—dari
ideology yang paling sempurna.
Mungkin
klandestin artinya manusia gorong-gorong, karena dalam cerpen ini settingnya di
gorong-gorong bawah tanah. Seperti kota yang berada di bawah kota persisnya.
Pengarang memasukkan makna yang tersembunyi secara rapi sehingga menarik untuk
dibaca. Mungkin jika saya simpulkan ceritanya adalah berkisah tentang seseorang
yang jenuh akan kehidupannya selama ini yang penuh dengan tirani, lalu ia
berinisiatif masuk ke dalam gorong-gorong atau kehidupan bawah tanah yang
langsung disambut dengan hangat oleh kaum mereka. Tetapi, karena banyak
perbedaan dan tidak sesuai dengan pemikirannya yang merdeka. Kediktatoran dan
terorlah yang menjadi ideologi di kehidupan gorong-gorong tesebut. Dengan
begitu tokoh utama tersebut mencoba keluar dengan seluruh kekuatannya. Cerita
seperti ini sungguh sangat menginspiratif saya untuk tidak kenal lelah dalam
memeperjuangkan kebenaran.
“DARAH
ITU MERAH JENDERAL”
Seorang jenderal pensiunan sedang mengenang masa lalunya yang gemilang sambil
bersantai di tepi kolam renang. Ia merasa sudah tidak takut lagi ditembak,
memang tiada alasan untuk takut ditembak karena ia berada di rumahnya sendiri,
rumah besar dengan tembok yang dilengkapi kawat berduri dan tempelan pecahan
kaca, serta satpam yang selalu siap siaga berjaga.
Ia pernah masuk koran karena menembak kaki maling, menurutnya hal tersebut
tidak membanggakan sedikitpun. Hidupnya memang habis di medan tempur. Sejak
umur belasan tahun ia sudah ikut bertempur dalam perang kemerdekaan sebelum
akhirnya direkrut menjadi tentara.
Dalam suatu operasi penumpasan, pasukannya dihajar bazooka dan kepalanya kena
pecahan peluru. Setahun lamanya ia dirawat. Tidak semua orang bisa menjadikan
luka sebagai kebanggaan. Pensiunan jenderal itu bangga dengan luka-luka yang
didapatnya dari medan pertempuran. Ia berpendapat menajdi tentara itu mulia,
karena telah menyerahkan nyawanya.
Tiba-tiba ia membuang Koran yang sedang dibacanya. Ia memaki-maki isi berita
yang tercantum dalam koran tersebut. Ia berpikir apa yang mereka ketahui
tentang risiko kehilangan nyawa dan dikepung oleh musuh. Daerah yang ia dan
kawan-kawan tentaranya rebut dengan segala pengorbanan apakah harus diserahkan
begitu saja?
Jenderal itu beranjak dan menceburkan diri ke kolam renang untuk mendinginkan
hatinya yang panas. Kini ia berenang di bawah hujan deras, dalam hujan ia
terkenang seribu satu pertempuran yang telah diarunginya, apa boleh buat
sejarah hidupnya adalah perjalan mengarungi lautan darah.
Ia teringat presiden musuh yang ia tawan, begitu kumuh dan lusuh penampilannya.
Ia lupa berapa banyak jiwa telah diterbangkannya ke langit. Aneh, baru sekarang
ia sadar cukup banyak juga darah ditumpahkannya lewar peluru, dinamit, mortir,
granat dan bom. Celakanya yang disebut musuh tak selalu tentara, tak selalu
bersenjata, dan tak selalu orang yang sedang memberontak, tapi sama
berbahayanya, jadi harus disikat.
Cerpen
yang sarat akan sindiran ini disajikan dengan gaya yang tidak kaku dan tentu
saja berkualitas. Menceritakan seorang jendral pensiunan yang mengungkapkan
kebanggaannya sebagai seorang tentara, merasa apa yang sudah dilakukannya
dalam medan perjuangan melawan perlawananan pemberontak adalah sebuah tindakan
kepahlawanan.
“SERULING
KESUNYIAN”
Bercerita tentang seorang anak yang teringat cerita ibunya mengenai kejadian
penembakan dan saudara-saudaranya yang hilang, tentang mimpi jeritan yang
ibunya alami setiap malam. Jerit kesakitan pilu yang keluar dari isakan ibu.
Ia duduk di atas kerbau sambil maniup seruling. Angin menderu bersama waktu
ketika kaerbaunya berhenti mengunyah rumputan dan mengingatkannya akan ibunya
yang telah jauh ketinggalan di belakang zaman yang telah terlalu lama terpendam
karena masih terus bercerita tentang penembakan dan saudara-saudaranya yang
hilang kepada setiapa orang. Mencoba menceritakan bagaimanan terjadinya
pembunuhan dan pembantaian yang menewaskan berates-ratus orang tanpa penjelasan
hanya tangisan ratapan dan teriakan kesakitan yang disebarkan angin dan
alang-alang yang tumbuh di lapangan sepak bola yang sebenarnya kuburan tanpa
nisan.
Ia menghentikan tiupan serulingnya karena tiada lagi nada dalam hatinya,
diletakkan seruling itu di atas batu pada hamparan pasir putih di tepi sungai
disuatu lembah di bulan dan bersama kerbaunya ia tinggalkan waktu sambil
berharap suatu ketika seruling itu ditemukan kembali disuatu tempat entah
dimana kelak pada masa lalunya supaya suara tanpa bunyi itu yang menurut
buku-buku tanpa huruf bernama kesunyian.
Menurut saya, dari segi penggunaan bahasa, bahasa yang
digunakan begitu puitik, meskipun begitu pengarang tidak
meninggalkan unsur dasar dalam cerpen tersebut yaitu tema, tokoh, alur dan
sebagainya.
“SALAZAR”
Menceritakan sebuah penantian seorang adik terhadap kakak kandungnya yang
bernama Salazar. Menunggu selama dua minggu terakhir di café, dekat hotel
murahan, disebuah lorong gelap di Barcelona, tetapi tak bertemu juga. Salazar
yang tinggal di negeri asing karena sikapnya yang selalu menyatakan apa yang
dipikirkannya, seorang pemuda yang berkata-kata dengan jelas dan jujur tentang
sikap hidupnya.
Selama dua minggu ini ia bertanya-tanya. Bertanya-tanya tentang bagaimana
Salazar hidup di negeri barunya ini, apakah yang harus ia jawab ketika Salazar
tentang keadaan dikampung halamannya saat ini. Tetapi, itu hanya angannya saja
karena sampai saat ini Salazar tidak pernah menampakkan batang hidupnya di
lorong gelap itu.
Ia masih setia menunggu di kafe tua, dekat hotel murahan, disebuah lorong gelap
di Barcelona. Menunggu kedatangan Salazar dari Lisabon.
Cerpen
ini menceritakan tentang kesabaran seseorang yang
menunggu saudaranya.Tema cerpen ini berbeda dari cerpen-cerpen dalam kumpulan
cerpen 'Saksi Mata' yang mengangkat tema kejahatan kemanusiaan, penyiksaan,
penganiayaan. Cerpen ini mengangkat tema kerinduan seseorang pada
saudaranyayang bernama Salazar. Walaupun hanya mengangkat tema kerinduan, tapi
dalam cerpen tersebut ditampilkan melalui isi hati sitokoh'Aku' dalam cerpen,
jika pembunuhan dan kejahatan kemanusiaan juga dirasakan si tokoh 'Aku'.
Menurut
sumber yang saya dapat cerpen ini dibuat setelah melihat peristiwa di Dili pada
tahun 1991 lalu. Inilah keunggulannya, cerpen yang dibuat langsung setelah
melihat suatu peristiwa yang sedang hangat terjadi. Berkisah tentang kerinduan
tentang seseorang yang terpisah dengan saudaranya yang pergi ke Lisabon ibukota
negara Portugal.
“JUNIOR”
Cerpen
ini menceritakan seorang anak bernama Junior. Dulu saat ia berumur 3 tahun,
Juniorbegitu kurus, hitam, lusuh, berdaki, dan berambut keriting. Banyak anak
yang diserahkan dengan sukarela dan pasrah, selain karena orangtuanya tidak
mampu mengurusnya lagi, juga karena orangtuanya itu bisa saja sudah mati dan tidak
semua dari anak itu yang mampu bertahan hidup. Namun, tidak dengan Junior. Mata
junior yang berkilat-kilat itulah barangkali yang membuat Junior bertahan
hidup, pikir Suster Tania-seorang yang merawat Junior sejak 15 tahun yang lalu.
Sebenarnya, Suster Tania tidak rela jika Junior harus pergi, tapi Junior
berkata pada Suster Tania jika, ia akan memberikan jiwanya dan akan mencari
ibunya. Junior ingin menuju Negeri Terindah.
Di
dalam jip yang terbuka, Suster Tania membawa Junior menyusuri jalanan yang mulus,
membentang ke hadapan mereka kegemilangan laut dan kecemerlangan padang. Senja
sudah betul-betul gelap saat Junior berdiri di dekat jip menunggu izin Suster
Tania untuk merelakannya pergi. Sebelum Junior pergi, Suster Tania memberikan
sebuah bungkusan pada Junior. Sebuah kain pembungkus bayi yang ditisik dengan
tulisan. Dalam cahaya senter, Suster Tania melihat kilat mata Junior lagi,
Suster Tania memeluk dan Mencius kedua pipinya, sebelum Junior menghilang dari
pandangan Suster Tania ke dalam kegelapan padang alang - alang.
Cerpen
ini menarik karena menceritakan seorang bocah yang mampu bertahan hidup. Cerpen
ini mengangkat tema yang sama dengan cerpen-cerpen lainnya yang terdapat dalam
kumpulan 'Saksi Mata'seperti pembunuhan, kejahatan kemanusiaan dan penyiksaan.
Cerpen ini seakan menceritakan tentang Junior yang berharap dapat menemukan
negeri terindah dimana tidak ada lagi kejahatan kemanusiaan juga penyiksaan.
“KEPALA DI PAGAR DA SILVA”
Cerpen
ini menceritakan tentang kepala yang tertancap di pagar Da Silva, yang tak lain
adalah kepala Rosalina, anak perempuan Da Silva satu-satunya. Sebagian besar
cerita berpusat pada dua orang di rumah sebelah Da Silva yang menyaksikan
kepala bersimbah darah itu di malam hari, saat jam malam. Dari balik pintu, dua
orang itu, yang salah satunya ternyata adalah kekasih Rosalina, saling
berbisik, gemas, marah, dan merasa kasihan pada Da Silva jika ia mengetahuinya.
Alur cerita kemudian bergerak pada kedatangan Da Silva yang lalu masuk ke
rumahnya sendiri. Pembaca tentu menunggu-nunggu momen saat Da Silva menemukan
kepala anaknya itu. Namun, cerita diakhiri dengan menggantungkarena ditutup
dengan Da Silva yang membuka pintu.
Cerpen
ini menarik karena penulis mempermainkan imajinasi pembaca dengan kelebat
pikiran Da Silva tentang istri dan tiga anak laki-lakinya yang sudah terbunuh
di medan perang, serta percakapan dua orang tetangganya dan pembaca dibiarkan
berimajinasi sendiri untuk melanjutkan kisah tragis Da Silva yang diteror
dengan kepala perempuan di pagar rumahnya.
“SEBATANG POHON DI LUAR DESA”
Cerpen ini menceritakan tentang seorang anak bernama Adelino yang masih berumur 12 tahun. Adelino selalu mengingat tentang pamannya-Alfonso juga ada 1 hal yang selalu diingatnya tentang pohon yang berdiri tegak diluar desa. Pohon itu memang sudah tua, tak ada yang tahu persis berapa umurnya. Bahkan saat orang yang paling tua di desa itu lahir, pohon tersebut sudah ada. Adelino yang biasanya selalu pergi kesungai pada suatu hari, ia tidak pergi kesana. Adelino pergi ke atas bukit, memandang pohon ditepi jalan itu. Sudah lama ia tidak pernah mendekati pohon itu meskipun sebenarnya ingin sekali. Semua orang di desanya tak lagi berani mendekati pohon itu.
Tak ada perjanjian, tak ada percakapan sedikit pun tentang pohon itu, tapi tak ada seorang pun yang kini menganggap pohon itu ada. Sudah beberapa bulan ini Adelino selalu terbangun tengah malam mendengar suara kaki berlari-lari bergedebukan, mendengar suara napas terengah-engah, dan mendengar suara tembakan. Kadang terdengar jeritan, suara orang mengaduh kesakitan, atau suara orang yang berbisik-bisik dengan nada perintah, tergesa-gesa, campur ketakutan. "Apakah ini gerombolan yang suka dibicarakan Paman Alfonso?" piker Adelino diam-diam. Gerombolan bersenjata yang bersembunyi di perbukitan yang turun ke desa kalau sudah tidak punya makanan, atau mencegat bus dijalan dekat pohon itu, menyergapnya dari balik lading jagung dan merampok penumpang bus lalu menghilang.
Hampir setiap orang di desa mengeluh anaknya diculik, saudaranyadipukuli, kakak perempuannya diperkosa, ada yang mengeluh dirinya ditanya macam-macam sambil disunduti rokok dan ditempeleng. Namun, tidak dengan Paman Alfonso. Paman Alfonso adalah laki-laki yang dikagumi Adelino. Pada siang bolong terjadi baku tembak di lading jagung. Gerombolan itu menyergap patrol tentara, membunuh, dan melucuti semua pakaian mereka. Setelah peristiwa itu berlangsung, operasi militer besar-besaran. Gerombolan menghilang. Pada malam hari, Adelino mendengar bagaimana pintu-pintu
ditendang dan penghuni rumah dipaksa ikut. Sebagian tidak pernah kembali dan sebagian kembali dengan wajah yang tidak dikenali lagi. Paman Alfonso termasuk yang tidak kembali, ia digantung di pohon yang tegak menjulang di luar desa. Semua itu sudah lama berlalu, tapi ketakutan masih mencengkeram desa itu.
Cerpen
tersebut menurut saya sangat menarik karena dari cerpen tersebut kita bisa mengetahui bagaimana bentuk kejahatan kemanusiaan pada zaman dulu seperti, penganiayaan, penyiksaan dan penghilangan manusia secara paksa. Dari cerpen tersebut kita juga tahu bagaimana dampak atau efek dari kejahatan kemanusiaan yang dapat menimbulkan trauma dan ketakutan akan bayang-bayang masalalu meskipun, peristiwa tersebut sudah lama berlalu.
Komentar