(Review) Saksi Mata Karya Seno Gumira Ajidarma








Judul buku                  : Saksi Mata

Pengarang                   : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit                       : Bentang
Tahun Terbit                : 2016
Jumlah Halaman          : x ˖ 158
ISBN                           : 978-602-291-190-6

Seno Gumira Ajidarma adalah seorang penulis dari generasi baru sastra Indonesia. Beliau lahir di Boston, Amerika Serikat pada tanggal 19 Juni 1958. Putra dari Prof. Dr. M.S.A Sastrimidjojo, seorang guru besar FMIPA UGM. Beliau telah menulis beberapa buku, antara lain Atas Nama Malam, Wisanggeni – Sang Buronan, Biola Tak Berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, Negari Senja, dan Sepotong Senjan untuk Pacarku.
Selain menulis, Beliau juga bekerja sebagai wartawan, fotografer, dan kritikus film Indonesia. Seno menjadi seniman karena terinspirasi oleh Rendra yang santai, bisa bicara, hura-hura, nyentrik, dan rambut boleh gondrong. Beliau juga sudah mendapatkan beberapa penghargaan, salah satunya yaitu penghargaan SEA Write Award pada tahun 1987. Kesibukan Seno saat ini adalah membaca, menulis, memotret, jalan-jalan, selain bekerja di Pusat Dokumentasi Jakarta-Jakarta. Sekarang Seno menjadi Rektor di Institut Kesenian Jakarta sejak 2016 dan tetap menjadi dosen di Fakultas Film dan Televisi  dan Sekolah Pasca Sarjana IKJ, ISI Surakarta, dan UI.
Dalam kumpulan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma  yang berjudul Saksi Mata, menceritakan beragam kisah penderitaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat yang terjajah dan ditindas oleh serdadu pemerintah atau anggota militer yang dikirim ke daerah terkait untuk menekan pemberontakan.
Enam belas cerita pendek yang terdapat dalam buku ini yaitu Saksi Mata, Telinga, Manuel, Maria, Salvador, Rosario, Listrik, Pelajaran Sejarah, Misteri Kota Ningi, Klandestine, Darah Itu Merah Jenderal, Seruling Kesunyian, dan Salazar, Junior, Kepala di Pagar Da Silva, dan Sebatang Pohon di Luar Desa memiliki keterkaitan waktu dan lokasi yang dapat terlihat dari peristiwa-peristiwa serupa yang dialami oleh mereka serta nama-nama tokoh yang umumnya khas digunakan oleh masyarakat Amerika Latin yang beragama Katolik. Ketika banyak penulis modern sejak sekitar tahun 2010 baru memulai membuat kumpulan cerita pendek yang memiliki benang merah antara ceritanya, Seno Gumira telah melakukan ini sejak 1994.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, sedikit sekali pihak-pihak yang berani atau pun mampu bertahan setelah memberikan kritik terhadap pemerintahan beliau, termasuk jurnalisme yang sangat ketat pengawasan dan kontrolnya oleh pemerintah. Kumpulan cerpen ini bisa jadi bentuk keprihatinan dan peran sastra sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Seno sendiri, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”.
Melalui karyanya ini, Seno Gumira seolah juga menunjukkan bahwa kemerdekaan jiwa raga itu mahal harganya – diperoleh setelah melalui pengorbanan banyak nyawa bertahun-tahun lamanya. Dia juga  seolah menyampaikan bahwa kita punya kecendrungan untuk menjajah manusia lainnya ketika kita merasa lebih superior dan berkuasa atas mereka, bahwa kita semua mewarisi sifat-sifat mengerikan manusia yang membuat kita terkadang merasa malu pada diri sendiri dan sejarah kita.
SAKSI MATA”
Di ruang pengadilan saksi mata itu datang tanpa mata. Dari lubang pada bekas tempat kedua matanya perlahan-lahan dan terus-menerus mengucur darah yang berwarna sangat merah. Para pengunjung pengadilan menjadi gempar dan berteriak-teriak dengan emosi meluap-luap sementara para wartawan sibuk memotret Saksi Mata itu dari segala sudut, membuat suasana semakin panas. Bapak Hakim yang Mulia segera sadar dan mengetuk-ngetukkan palunya. Dengan sisa wibawanya ia berhasil menenangkan hadirin, dan bisa memulai untuk  menginterogasi saksi tanpa mata tersebut.
Saksi mata tanpa mata itu mengaku bahwa matanya buta karena diambil dengan sendok oleh sekawanan ninja. Hadirin yang hadir di ruang pengadilan pun mulai riuh kembali. Lagi-lagi Bapak Hakim mengetukkan palu supaya keadaan menjadi tenang, lalu melanjutkan pertanyaannya. Bapak Hakim heran mengapa saksi mata tanpa mata itu diam saja dan tidak melawan. Darah yang keluar dari matanya terus mengalir memenuhi ruangan dan luber sampai ke halaman.
Saksi mata tanpa mata itu menjawab dengan polos, bahwa sekawanan ninja yang berjumlah sekitar lima orang itu mengambil matanya ketika ia tidur, jadi pada kesimpulannya ia mengalami kejadian itu dalam mimpi. Orang-orang tertawa, Hakim mengetuk lagi dengan marah, sembari berkata bahwa ruang pengadilan bukanlah panggung srimulat.
Bapak Hakim ragu akan pernyataan yang diberikan saksi mata tanpa mata itu, karena tidak masuk akal dan absurd, tetapi ia tetap bersikeras bahwa kejadian keji itu terjadi di dalam mimpi.
Bapak Hakim berpikir bahwa saksi mata yang tidak mempunyai mata berhak untuk bersaksi karena ingatannya tidak terbawa oleh matanya. Lalu Bapak Hakim pun berkata pada saksi mata tanpa mata tersebut bahwa meskipun banyak saksi mata, tidak ada satu pun yang bersedia menjadi saksi di pengadilan kecuali ia. Ruang pengadilan menjadi gemuruh, semua bertepuk tangan termasuk Jaksa dan Pembela. Beberapa orang mulai meneriakkan yel. Dan Bapak Hakim memberi teguran sekaligus pesan bahwa jangan berkampanye di ruang pengadilan.
Dalam perjalanan pulang, Bapak Hakim mulai memuji saksi mata tanpa mata itu kepada sopirnya, dengan menghilangkan rasa bersalah ia pun menanggapi pembicaraan dengan berkata bahwa keadilan tidak buta.
Menurut saya, penulis cerpen ini ingin menggambarkan sebuah kondisi dimana keadilan sudah tidak ada lagi. Cerpen ini dibuat dengan sedikit komedi terlihat dari dialog antara hakim dan si saksi mata dan beberapa ucapan si saksi mata itu. Cerpen ini menggambarkan seolah-olah keadilan telah dibungkam. Namun masih ada orang yang ingin menegakkan keadilan. Dengan bahasa kias yang apik, penulis berhasil menggambarkan betapa sulitnya keadilan ditegakkan pada masa itu. Terdapat pula pesan-pesan tersirat dalam cerpen ini yang menggambarkan penegakkan keadilan pada masa itu. Diksi yang digunakan dalam cerpen ini mudah dicerna oleh pembaca sehingga pembaca dapat menyimpulkan apa maksud dari penulis dengan jelas.
“TELINGA”
Juru cerita pun menceritakan sebuah cerita tentang kekejaman pada Alina, yang berjudul telinga. Diceritakan ada seorang gadis yang bernama Dewi, ia memiliki seorang kekasih yang sedang bertugas di medan perang. Suatu hari ia menerima sebuah kiriman yang berisi sepotong telinga manusia yang masih segar dan berlumur darah. Terlampir juga sebuah surat yang intinya bahwa telinga itu diberikan sebagai kenang-kenangan dari medan perang dan tanda rindu. Telinga itu adalah milik seseorang yang dicurigai sebagai mata-mata, dan pekerjaan memotong telinga memang sudah biasa dilakukan di medan perang bahkan dijadikan sebagai hiburan dikala sedang bosan.
Lantas Dewi menggantung telinga tersebut di ruang tamu. Walau sudah berhari-hari telinga itu masih mengeluarkan darah hingga setiap pagi Dewi harus mengepel lantai. Bahkan, kadang Dewi merasa kalau telinga tersebut bergerak-gerak sendiri sehingga dia berkesimpulan karena telinga seorang mata-mata jadi sukanya menguping.
Dewi menulis surat kepada kekasihnya dan memberitahukan bahwa kirimannya sudah sampai, ia juga mengatakan bahwa ia sangat menyukai kiriman telinga tersebut. Di akhir surat ia bertanya pada kekasihnya. Bagaimanakah caranya orang-orang yang telah dipotong telinganya itu tidak mendengar suara-suara?
Setelah itu hampir setiap hari Dewi menerima kiriman telinga segar dari pacarnya yang jumlahnya dapat mencapai lebih dari 50 buah. Karena jumlahnya yang sudah tidak muat digantung diberbagai sudut rumah dan dijadikan perhiasan, akhirnya ia bagi-bagikan ke tetangga dan teman-temannya.
Untuk kedua kalinya Dewi menulis surat untuk kekasihnya yang berada di medan perang. Dewi khawatir kalau-kalau pekerjaan memotong telinga sudah tidak bisa menghibur hati kekasihnya. Dan di akhir surat lagi-lagi ia bertanya, kenapa begitu banyak orang yang pantas dicurigai?
Nun di medan perang pacar Dewi sibuk membantai orang. Dari sebuah kubu perlindungan, pacar Dewi menulis surat balasan yang isinya menjawab semua pertanyaan Dewi tentang bagiamana caranya agar orang-orang yang telah dipotong telinganya tidak mendengar suara-suara. Ia menjawab bahwa ia dan kawan-kawannya pun tidak mengetahuinya sehingga mereka sepakat untuk sekalian saja memenggal kepala orang-orang yang dicurigai. Bahkan ia juga menwari Dewi kepala-kepala tersebut untuk kenang-kenangan.
Setelah juru bicara selesai bercerita, Alina pun berkata bahwa kekasihnya Dewi sangat kejam, tetapi si juru bicara menjawab meskipun begitu banyak orang yang menganggapnya pahlawan.
Cerpen ini memang menggambaarkan kekejaman prajurit di medan perang yang memotong telinga bahkan memenggal kepala siapa saja yang dianggap sebagai mata-mata. Cukup jarang tema seperti ini diangkat dalam sebuah cerpen. Namun apabila digali lebih dalam, cerpen ini ternyata mengangkat peristiwa Dili 1991. Bagi saya, cara penulis menggambarkan peristiwa yang ia angkat ke dalam sebuah cerpen sangatlah apik. Dari pembacaan sekilas, tidak nampak bahwa cerpen ini bermaksud mengangkat peristiwa itu. Penulis menggunakan makna kias sehingga cerpen ini tidak terkesan to the point mengarah pada peristiwa yang dimaksud. Kekejaman tergambar jelas dalam cerita ini. Apabila dibaca sekilas, itu terlihat hanya sekadar fiktif. Namun apabila kita menggali lebih dalam, cerpen ini sarat akan makna dan pesan moral.
 “MANUEL”
            Cerita ini mengisahkan seorang pria bernama Manuel yang bertemu dengan seorang intel  di sebuah bar, tetapi ia tidak mengetahui identitas asli dari orang yang ia ajak bicara. Manuel menceritakan semua pengalaman hidupnya dengan setengah sadar karena mabuk kepada intel  tersebut sampai akhirnya ia ditangkap karena memang ia adalah seorang buronan.
Namanya Manuel, kulitnya hitam, rambutnya lusuh, keriting, dan agak kemerah-merahan. Seorang pria yang sejak umur 5 tahun terpisah dari Ibu dan adiknya yang masih bayi karena penyerbuan dan pemboman yang terjadi di desanya. Ayahnya meninggal karena dibunuh oleh teman-temannya sendiri yang kata orang bahwa teman-teman ayahnya adalah pengkhianat.
Ia mengaku hidup di hutan hingga umurnya menginjak 17 tahun. Selama hidupnya ia selalu dihantui oleh bayang-bayang kematian. Hidup di hutan bergerombol dengan yang lain yang kebanyakan adalah anak yatim piatu membentuk suatu kelompok pemberontak. Saat ia kembali ke kotanya dulu semuanya telah berubah, penuh dengan pasukan asing, banyak mata-mata berkeliaran yang mencurigai segala gerak-geriknya.
Intel itu berpikir bahwa hidup yang dialami Manuel dipenuhi oleh penderitaan, lihat saja penampilannya yang terlihat seperti orang berumur 30-an padahal umur aslinya 21 tahun. Manuel adalah seorang yang tabah, dan pemberontak yang tabah. Sepanjang intel itu bekerja sebagai intel ia tidak pernah menemukan pemberontak seperti Manuel, biasanya seorang pemberontak itu berbahaya. Intel tersebut merasa bahwa dalam menjalankan misinya malam ini ia kurang berhati-hati mungkin karena mereka sama-sama dalam keadaan kesepian.
Perjuangan, begitulah, toh tetap harus dilakukan dalam kesendirian.
Cerpen ini hampir mirip dengan cerpen sebelumnya dalam buku kumpulan cerpen “Saksi Mata”. Penulis menggambarkan suatu peristiwa dengan cara yang tidak secara langsung menuju ke peristiwanya. Bagi saya, akhir dari cerpen ini sangat tidak terduga. Pada awalnya saya kira bahwa lelaki yang menjadi teman Manuel bercerita adalah kawannya. Tak disangka lelaki itu ternyata adalah seorang intel yang memang mengincar Manuel untuk ditangkap. Didalam cerpen ini juga digambarkan kekejaman aparat. Terlihat dari saat Manuel bercerita tentang neneknya yang berusia 74 tahun dipaksa memakan kulit pipinya sendiri yang diiris karena ia adalah seorang yang dicurigai.
Penderitaan dalam cerita ini tergambar jelas hingga akhir cerita dimana intelitu berkata “Saya pikir ia berumur 30. Apakah penderitaan membuat seseorang bertambahtua? Tapi, saya tidak memiliki kesan bahwa Manuel menderita. Ia seorang yang tabah. Dan, pemberontak yang tabah, sepanjang pengetahuan saya sebagai intel, adalah pemberontak yang berbahaya. Sayang, ia kurang hati-hati malam ini. Barangkali, seperti juga saya, ia sedang  kesepian, begitulah, toh tetap harus dilakukan dalam kesendirian.” Dari kalimat yang diucapkan intel tersebut juga dapat diketahui bahwa ternyata Manuel telah lama diburu. Dan pada malam itu sayangnya ia kurang berhati-hati, ia malah membeberkan identitasnya secara terang-terangan karena ia sedang mabuk dan mungkin kesepian. Kesepian itu sendiri juga adalah penderitaan bagi setiap manusia tak terkecuali intel itu. Dan kalimat terakhir yang diucapkan oleh intel itu menjadi akhir yang tidak terduga dari cerpen ini. “Sorry, Manuel, engkau ditahan.
“MARIA”
Sudah setahun Maria menunggu anak laki-laki bungsunya, Antonio. Sudah setahun juga Maria membiarkan pintu pagar, pintu rumah, dan jendela-jendela terbuka agak lebih lama setiap senja, karena barangkali saja akan kelihatan olehnya Antonio berjalan pulang dan memeluknya sembari berseru “Mama!”
Betapa Maria merindukan Antonio, Antonio yang hanya tahu bergitar dan berdansa, anak bungsunya yang tampan, dengan suaranya yang halus dan matanya penuh kasih sayang. Maria telah kehilangan suaminya Gregorio yang perkasa, kata orang ia telah mati dan tubuhnya telah hancur berkeping-keping. Maria juga telah kehilangan Ricardo, anak sulungnya yang bersumpah akan membalas dendam atas kematian ayahnya. Kata orang juga ia telah menjadi mesin perang yang sangat kejam, Ricardo telah menjadi penyiksa.
Kehilangan Gregorio menghancurkan hatinya, kepergian Ricardo mematikan jiwanya, dan kehilangan Antonio mengacaukan kerja otaknya.
Pintu masih terbuka. Diluar Maria melihat tentara berbaris-baris, sudah bertahun-tahun mereka berbaris seperti itu. Pintu pagar belum ditutupnya meski hari sudah gelap. Tiba-tiba saja sesosok tubuh itu sudah berdiri dihadapannya yang langsung berlutut dan memeluknya.
Antonio telah kembali, tetapi Maria tidak mengenalnya. Kepalanya penuh pitak seperti hutan gundul, dengan cukuran yang tidak teratur. Matanya yang sebelah kiri tertutup. Wajahnya penuh dengan bekas luka. Coder diagonal dari kanan ke kiri, dari kiri ke kanan. Ia tidak bertelinga. Hidungnya seperti pindah dari tempatnya semula. Mulutnya mencong dan gigi depannya ompong. Bajunya lusuh, tidak bersandal, dan segenap kuku jari-jari kaki dan tangannya nampak telah dicabut paksa. Ia sangat kurus dan kering.
Maria langsung mengusir pemuda rongsokan tersebut yang aslinya adalah anaknya sendiri, Antonio, sambil berteriak-teriak tidak terima. Antonio menghela napas panjang, mimpi-mimpinya selama 365 malam terhapus dalam 1 detik saja.
Sebelum pergi ia berkata pada mamanya bahwa ia tidak tahu lagi tempat mana lagi yang paling baik untuk kembali selain ke rumahnya. Ia berpikir barangkali memang belum waktunya bagi mereka untuk merasa bahagia. Ia juga mengatakan bahwa rupa-rupanya bumi ini memang sudah bukan rumahnya lagi.
Cerpen ini masih menggambarkan tentang kekejaman seperti cerpen-cerpen sebelumnya dalam buku kumpulan cerpen “Saksi Mata”. Namun terdapat hal menarik yang membedakan cerpen ini dengan cerpen-cerpen sebelumnya. Dalam cerpen ini disiratkan pesan tentang kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Tergambar jelas dari Maria yang menunggu-nunggu kepulangan anaknya, Antonio yang pergi entah kemana dan tak kunjung pulang hingga setahun beralalu. Namun saat Antonio pulang, Maria tidak mengenalinya karena penampilannya telah berubah menjadi sangat buruk karena ia habis disiksa. Dalam cerpen ini saya menangkap bahwa digambarkan disitu sifat egois manusia yang tak mau menerima sesuatu yang tidak diinginkannya. Bahkan seorang ibu pun bisa tidak lagi menginginkan anaknya karena fisiknya sudah berubah. Saya tak mengira di akhir cerita Antonio yang kepulangannya sangat ditunggu-tunggu oleh Maria malah diusir saat itu juga. Dari cerpen ini saya menangkap pesan bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Setiap manusia tentu memiliki kasih sayang. Terlebih kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Namun manusia juga tak bisa luput dari keburukan, bahkan seorang yang dianggap mulia sekalipun
 “SALVADOR”
            Pandangan mata orang-orang di jalanan mengikuti mayat Salvador yang diseret perlahan-lahan oleh seekor kuda dengan kepala tertunduk. Seorang serdadu duduk di atas kuda yang menyeret mayat itu dengan tubuh dan kepala tegak karena mengenakan helm yang melindungi wajahnya dari pasir beterbangan. Di belakang mayat itu seorang juru warta menunggang kuda sambil membawa gong. Di belakang juru warta itu satu peleton serdadu berkuda mengawal dengan langkah serempak.
            Setelah berhenti diperempatan kota. Juru warta itu memukul-mukul gongnya dan berkata sambil meneriakan pengumuman bahwa inilah mayat Salvador, seorang maling ayam yang telah dihukum tembak sampai mati dan mayatnya akan digantung di gerbang kota, dan peringatan bagi orang-orang yang berani membangkang. Mereka biarkan para serdadu menggantung mayat Salvador di atap gerbang kota yang dulu dibangun para penjajah. Mereka pehatikan bagaimana pada dada Salvador digantungkan pamphlet lebar bertuliskan MALING AYAM.
            Sejarah telah menyapu kota yang terpencil dan tandus itu dengan darah dan meskipun darah yang tumpah ke tanah gersang cepat kering tapi tiada seorang pun melupakannya.
            Menjelang fajar, seorang pengembara tiba di gerbang kota itu menunggangi seekor keledai. Ia melihat mayat-mayat serdadu bergeletakan dan komandan mereka digantung di gerbang kota itu. Di leher komandan itu tergantung pemflet bertuliskan MALING AYAM.
Pada tembok gerbang kota, ia membaca kata-kata yang ditulis dengan darah yang masih basah:
Kuambil jenazah Salvador,
Pemimpin kami yang berani.
Aku, Carlos Santana,
Kini memimpin perjuangan.
            Pengembara itu membalikkan keledainya berjalan mejauh, tidak jadi memasuki kota sambil berbicara pada keledainya kalau ia tidak mau terlibat.
Gaya bahasa yang digunakan pada cerpen ini sangat kental. Jalan ceritanya pun menarik yaitu seorang yang dihukum mati karena menjadi maling ayam, ini menggambarkan penyimpangan hukum yang ada di Indonesia. Orang korupsi yang mencuri uang rakyat hingga milyaran jumlahnya dihukum paling berat hanya lima tahun sedangkan seorang maling ayam yang amatir bisa dihukum tidak sebanding dengan kesalahannya yang hanya maling ayam yang harganya pun tidak seberapa, belum lagi diadili oleh masa.
“ROSARIO”
            Dokter muda itu masih tetap saja memaksa Fernando untuk berterus terang mengatakan yang sesungguhnya mengenai Rosario yang sudah ngendon diperutnya selama 20 bulan. Fernando masih menundukkan kepala. Mulutnya bergerak-gerak dengan gemetar. Seluruh gambar peristiwa yang dialaminya 20 bulan yang lalu itu sudah berkelebat dengan jernih di benaknya, namun lidahnya tak jua bergerak.
            Fernando melirik. Perutnya sakit sekali, tapi hatinya lebih sakit lagi. Kesakitan seseorang yang telah terhina, tersinggung, dan dilecehkan. Sempat terlintas di benaknya untuk menyuruh dokter itu menelan stetoskopnya sendiri.
            Fernando berusaha keras untuk bicara, hingga akhirnya ia meneriakan kata “bayonet”, tetapi setelah itu ia jatuh pingsan. Di rumah sakit, sambil memandang Fernando yang sedang diinfus, dokter muda itu mencoba menghubung-hubungkan kata “bayonet” yang diucapkan Fernando dengan keberadaan Rosario tersebut dalam perutnya. Ia tahu apa itu bayonet, pisau panjang yang terletak di ujung senapan. Seorang serdadu akan menggunakannya dalam pertarungan jarak dekat, ketika peluru habis atau tidak smpat ditembakkan. Diam-diam dokter itu kagum, betapa seseorang bersedia mengorbankan jiwa untuk pekerjaannya.
            Ketika foto rontgen itu jadi, mula-mula ia tak tahu bahwa benda-benda bulat itu adalah Rosario. Ia heran mengapa benda tersebut bisa ditelan oleh Fernando. Kalau Fernando tidak bisa menceritakannya mungkin ada orang lain bisa menjelaskan. Sekarang ia telah tahu bahwa Fernando mempunyai keluarga tetapi tidak seberuntung yang dipikirkan. Bapaknya hilang ketika rumahnya digerebek pada suatu malam, kakanya mati dalam tahanan, adiknya pergi dari rumah masuk hutan, dan ibunya mati tertembak.
            Rosario dalam perut Fernando masih terbayang ketika dokter itu pulang berjalan kaki melewati kuburan. seorang perawat kulit hitam yang menganjurkannya, ia berkata jika ingin memikirkan tentang Rosario harus di kuburan yang sedang ia lewati. Dokter itu berpikir keras, karena ia ingin mengetahui bagaimana Fernando menelan Rosario yang rasanya tidak manis, tidak asin, dan juga tidak pahit. Lalu, ia juga penasaran mengapa Fernando mengucapkan kata “bayonet”.
            Sementara itu, dalam komanya, Fernando pergi ke masa lalu, ketika seorang serdadu memaksanya menelan Rosario di kuburan, dengan bayonet terhunus yang bersimbah darah.
            “Kemerdekaan adalah impian yang terkutuk.” Kata serdadu sambil menempelkan bayonet ke pipi Fernando. Dokter itu memang sudah lupa, peristiwa itu pernah ada.
Bahasa yang digunakan penuh isyarat terlihat dari penggambaran bahwa Fernando mengalami trauma akan masa lalunya selain sakit yang dideritanya karena rosario yang ada di dalam perutnya.
“LISTRIK”
            Lebih dari 1500 tahu yang lalu, bangsa Yunani kuno menemukan jenis batuan yang jika digosokan dapat menarik partikel dan dari sinilah lahirlah istilah elektron. Pada abad XII, Otto von Guericke menemukan generator elektrostatik yang merupakan arus listrik cepat pertama. Pada tahun 1786, Luigi Galvani melalui penemuan-penemuannya telah membuka pintu pada berbagai penemuan lain. Masih pada abad XVII, Dr. William Watson membuktikan bahwa tubuh manusia bisa dilalui listrik.
            Pada tahun 1993 listrik digunakan untuk meyetrum Januario. Jeritannya terdengar mengoyak malam. Menerobos keluar dari ruang interogasi, setiap kali dua jepitan itu bagai kepiting menancap ketiaknya. Tahanan itu betul-betul menjadi tahanan dalam rumus R=E/I dimana arus proton dan electron dengan tegangan 110 volt menggasak Januario bertubi-tubi.
            Meskipun telah disiksa sedemikian rupa, Januario masih tetap saja bungkam. Ia masih ingat, banyak peristiwa yang terjadi setelah ibunya mengiriminya surat dari tempat asalnya, yang isinya ia dapat diterima di tim yunior FC Porto dan di tempat aslanya sedang terjadi kudeta tetapi keluarganya baik-baik saja. Pada saat itu memang Januario tinggal di Eropa bersama Paman Eusebio.
Januario sudah lama melepaskan impiannya sebagai pemain sepak bola termahal di dunia. Dalam usia 33, terlalu banyak peristiwa sudah dialaminya, yang membuat tidak mungkin lagi mementingkan impian-impiannya sendiri. Sahabatnya, Alfredo, telah lama tewas diumurnya yang masih 17 tahun ketika serdadu asing memberondongnya dari belakang. Setahu kemudian sahabatnya lagi, Cornelio binasa kena pecahan bom. Tinggallah Aflonso bersamanya, bergerak dalam organisasi klandestin di dalam kota. Namun Aflonso mati tertembak saat umurnya 30 tahun. Dan kekasihnya, Esterlina, diperkosa dan dianiaya oleh orang-orang yang menginginkan identitas dan keberadaan dirinya.
            Pemeriksaan tetap berlanjut sambil diselingi dengan penyetruman tetapi sekali lagi ditekankan bahwa Januario tetap saja enggan untuk mengatakan mengenai siapa yang menyuruhnya meminta suaka.
Cerpen ini diawali dengan sebuah pengetahuan tentang penemuan listrik yang digunakan sebagai pengantar oleh pengarang untuk masuk ke inti cerita. Listrik ditulis setelah membaca laporan Amnesti Internasional mengenai perlakuan yang diterima napol yang terlibat Tragedi Dili.
“PELAJARAN SEJARAH”
            Pada jam pelajaran sejarah, Guru Aflonso membawa murid-murid kelas VI ke tempat bersejarah itu. Aneh, pikirnya, setiap kali datang ke tempat ini mereka terdiam. Padahal mereka adalah kanak-kanak yang sungguh-sungguh nakal. Inilah kedua kalinya Guru Aflonso membawa murid-muridnya ke pekuburan itu.
            Guru Aflonso belum lupa peristiwa itu. Bagaimana bisa lupa saat penembakan mereka dibagi dalam dua barisan. Kini murid itu bertanya mengapa ada pelajaran sejarah yang harus diajarkan di luar kelas. Guru Aflonso menghela napas. semua pertanyaan muridnya adalah pertanyaan yang jujur, sebenarnya ia pun sudah punya jawaban di kepalanya, tapi yang keluar dari mulutnya selalu lain.
Guru Aflonso sudah lama memikirkannya, bagaimana caranya menceritakan semua itu tanpa harus menjadi terlalu mengerikan. Tanpa cerita tentang darah yang memerahkan aspal, tanoa cerita tentang kepalanya sendiri yang ditendang, bajunya dicopot untuk mengikat tangan, dan kepalanya dipukul dengan popor senjata sampai berdarah, sementara teman disampingnya dipukul dengan kayu yang berpaku ujungnya. Guru Aflonso sudah lama mencari jalan bagaimana caranya mengajarkan sejarah macam itu tanpa rasa amarah.
Guru Aflonso sedang berpikir, bagaimana caranya menyampaikan pelajaran sejarah itu sebaik-baiknya, ketika matahari semakin bertambah tinggi. Anak-anak menunggu, sambil bertopang dagu, tapi mata mereka tidak lepas dari Guru Aflonso. Maka Guru Aflonso pun berkisah.
Sebenarnya, seluruh cerita Guru Aflonso itu sudah pernah mereka dengar, bahkan sudah hafal di luar kepala, tapi kini mereka mengerti, itulah sejarah, yang tidak tertulis dalam buku-buku pelajaran sejarah.
Amanat yang tersaji dalam cerpen ini mengenai sebuah sejarah yang sengaja disembunyikan oleh para petinggi untuk menutupi kebusukan para aparat negara itu sendiri. Sejarah yang seharusnya diketahui oleh semua masyarakat malah disembunyikan dan ditutup rapat-rapat.
Cerpen yang berkisah tentang kebimbangan seorang guru dalam menceritakan kebenaran sejarah yang begitu pahit tentang tempat tinggal mereka kepada murid-muridnya. Sangat sarat makna dan di bagian akhir cerita kita akan menemukan kalimat yang semakin membuka pemikiran kita terhadap cerpen ini dan menhubungkannya dengan hal yang ada di dunia nyata “…itulah sejarah, yang tidak tertulis dalam buku-buku pelajaran sejarah.” Mungkin banyak sejarah penting yang tidak diketahui masyarakat, sengaja disembunyikan karena akan merugikan aparat negara sendiri.
“MISTERI KOTA NINGI”
(atawa The Invisible Christmas)
            Cerpen ini mengisahkan tentang pengawai sensus biasa yang menurutnya hidupnya tidak menarik sedikitpun. Kali ini ia ditempatkan disebuah kota bernama Ningi, di sinilah ia menemukan sebuah hal yang lain, berbeda dari kota-kota yang pernah ia singgahi. Di kota Ningi, dari tahun ke tahun penduduknya makin lama makin berkurang, inilah satu keanehan dari keanehan-keanehan yang ia temui selama tinggal di kota tersebut.
            Pada hari pertama masuk kerja, ia memasuki sebuah rumah dan menemukan satu hal ajaib. Ia hitung seisi rumah, ada tujuh orang di sana tetapi ibu rumah menjawab bahwa aslinya ada depalan, sambil tangannya menunjuk ke meja makan. Di sana dapat ia lihat ada nasi dan lauknya serta ada garpu yang melayang-layang sendiri serta bunyi kerupuk yang sedang dimakan.
            Ibu itu berkata bahwa yang melakukannya adalah Adelino, saudaranya yang ditangkap, diinterogasi, dan dipukuli sampai mati. Ia keluar rumah itu dengan kepala pusing, lalu cepat-cepat masuk lagi ke sebuah rumah lain mencoba melupakan kejadian di rumah yang tadi. Tapi, begitulah, Ningi agajnya adalah sebuah kota yang betul-betul ajaib. Disetiap rumah yang ia masuki selalu ada saja makhluk-makhluk yang tak kelihatan. Dengan begitu bisa disebutkan, penduduk kota itu terdiri dari orang-orang kelihatan dan tidak kelihatan. Orang-orang kota Ningi selalu menyebut orang-rang yang tidak kelihatan itu sebagai “saudara kami” dengan wajah dingin.
            Bertahun-tahun tinggal di kota Ningi membuatnya mejadi terbiasa dengan orang-orang yang tidak kelihatan, meski tak pernah bisa memahami maknanya dengan tuntas. Dan dari tahun ke tahun penduduknya semakin berkurang. 15 tahun hidup di kota itu membuat hidupnya sungguh-sungguh kesepian. Siang hari bekerja menghitung orang, malam hari tidak berani keluar rumah karena ada gerombolan bertopeng seperti ninja. Sebenarnya tiak mungkin para ninja itu memasuki rumanya karena ia hanya seorang pendatang dan selama ini gerombolan bertopeng itu hanya memasuki rumah penduduk asli Ningi. Semuanya terjadi, sampai penduduk kota Ningi habis sama sekali.
Seperti cerpen-cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen ini yang juga memiliki makna tersirat. Menurut sumber yang saya peroleh, ide cerita cerpen ini memanfaatkan sebuah statistic kependudukan kota Dili dan Timor-Timur yang ditengah meledaknya pertumbuhan penduduk, ternyata jumlahnya secara misterius makin lama semakin berkurang. Statistik itu termuat dalam penelitian George Junus Aditjondro, seorang aktivis yang selalu mengemukakan fakta dengan akurat. Menurut saya ide cerita yang diambil sangatlah kreatif sehingga cerpen ini sangat layak untuk dibaca.
Sumber:
Sukarno, Lukti. 2010. “Review Trilogi Insiden”. Diunduh pada laman: https://luckty.wordpress.com/2010/06/.
“KLANDESTIN”
            Cerpen ini menceritakan seseorang yang sedang merasakan pertikaian dalam otaknya. Ia berpendapat bahwa sistem adalah musuhnya. Dia berpikir bahwa sistem harus dilawan dengan sistem. Ia berpikir saat menerima tawaran mata-mata suatu kaum pemberontak. Ia membuka tutup gorong-gorong lalu disambut dengan kalungan bunga bangkai dituntun menuju pimpinan melewati sebuah lorong yang gelap dan panjang.
            Ia telah memasuki sebuah kota di bawah tanah. Menurut pemandu yang menuntunnya sudah tiga generasi orang-orang beranak pinak di sana. Ia melihat orang-orang mencetak selebaran dan orang-orang berpidato diberbagai tempat dalam kerumunan. Banyak orang di sana, orang-orang berseragam dengan wajah tegang sesekali membawa tawanan yang berdarah-darah. Pemandu itupun berbisik bahwa mereka telah melakukan terror, menculik orang-orang dari atas lewat gorong-gorong, dan memperlakukannya sebagai budak dengan cara menelepon sambil tangannya menunjuk telepon umum gratis tinggal putar, kalau mau mereka bisa muncul di mana saja, membunuh seseorang, melempar granat, atau memasang bom, lantas menghilang kembali. Alangkah rapuhnya kekuasaan di atas itu.
            Benar-benar sebuah sistem yang menhancurkan sistem pikirnya. Berjuta-juta orang mengebor di bawah tanah, sebuah cara berperang yang baru. Siapa kawan siapa lawan. Terbayang dalam benaknya sebuah kejadian yang mengerikan.
            Tanpa ia sadari, ia melihat sebuah baliho besar sepanjang dinding gua. Ia lihat gambar pemimpin mereka. Samar-samar ia mengenalinya dan ternyata gambar itu adalah gambar pemandu tadi yang menuntunnya. Ia mulai tersenyum dan mencari jalan keluar. Ia tidak perlu komplotan, tidak juga bergabung dengan siapa pun, bahkan tidak memerlukan sistem perlawanan yang paling canggih di dunia sekalipun. Ia menemukan jalan keluar atas kegundahannya selama ini yaitu, ia tidak perlu menghancurkan sebuah kota yang ia perlukan adalah membebaskan pikirannya—dari ideology yang paling sempurna.
Mungkin klandestin artinya manusia gorong-gorong, karena dalam cerpen ini settingnya di gorong-gorong bawah tanah. Seperti kota yang berada di bawah kota persisnya. Pengarang memasukkan makna yang tersembunyi secara rapi sehingga menarik untuk dibaca. Mungkin jika saya simpulkan ceritanya adalah berkisah tentang seseorang yang jenuh akan kehidupannya selama ini yang penuh dengan tirani, lalu ia berinisiatif masuk ke dalam gorong-gorong atau kehidupan bawah tanah yang langsung disambut dengan hangat oleh kaum mereka. Tetapi, karena banyak perbedaan dan tidak sesuai dengan pemikirannya yang merdeka. Kediktatoran dan terorlah yang menjadi ideologi di kehidupan gorong-gorong tesebut. Dengan begitu tokoh utama tersebut mencoba keluar dengan seluruh kekuatannya. Cerita seperti ini sungguh sangat menginspiratif saya untuk tidak kenal lelah dalam memeperjuangkan kebenaran.
“DARAH ITU MERAH JENDERAL”
            Seorang jenderal pensiunan sedang mengenang masa lalunya yang gemilang sambil bersantai di tepi kolam renang. Ia merasa sudah tidak takut lagi ditembak, memang tiada alasan untuk takut ditembak karena ia berada di rumahnya sendiri, rumah besar dengan tembok yang dilengkapi kawat berduri dan tempelan pecahan kaca, serta satpam yang selalu siap siaga berjaga.
            Ia pernah masuk koran karena menembak kaki maling, menurutnya hal tersebut tidak membanggakan sedikitpun. Hidupnya memang habis di medan tempur. Sejak umur belasan tahun ia sudah ikut bertempur dalam perang kemerdekaan sebelum akhirnya direkrut menjadi tentara.
            Dalam suatu operasi penumpasan, pasukannya dihajar bazooka dan kepalanya kena pecahan peluru. Setahun lamanya ia dirawat. Tidak semua orang bisa menjadikan luka sebagai kebanggaan. Pensiunan jenderal itu bangga dengan luka-luka yang didapatnya dari medan pertempuran. Ia berpendapat menajdi tentara itu mulia, karena telah menyerahkan nyawanya.
            Tiba-tiba ia membuang Koran yang sedang dibacanya. Ia memaki-maki isi berita yang tercantum dalam koran tersebut. Ia berpikir apa yang mereka ketahui tentang risiko kehilangan nyawa dan dikepung oleh musuh. Daerah yang ia dan kawan-kawan tentaranya rebut dengan segala pengorbanan apakah harus diserahkan begitu saja?
            Jenderal itu beranjak dan menceburkan diri ke kolam renang untuk mendinginkan hatinya yang panas. Kini ia berenang di bawah hujan deras, dalam hujan ia terkenang seribu satu pertempuran yang telah diarunginya, apa boleh buat sejarah hidupnya adalah perjalan mengarungi lautan darah.
            Ia teringat presiden musuh yang ia tawan, begitu kumuh dan lusuh penampilannya. Ia lupa berapa banyak jiwa telah diterbangkannya ke langit. Aneh, baru sekarang ia sadar cukup banyak juga darah ditumpahkannya lewar peluru, dinamit, mortir, granat dan bom. Celakanya yang disebut musuh tak selalu tentara, tak selalu bersenjata, dan tak selalu orang yang sedang memberontak, tapi sama berbahayanya, jadi harus disikat.
Cerpen yang sarat akan sindiran ini disajikan dengan gaya yang tidak kaku dan tentu saja berkualitas. Menceritakan seorang jendral pensiunan yang mengungkapkan kebanggaannya sebagai seorang tentara, merasa apa yang sudah dilakukannya dalam medan perjuangan melawan perlawananan pemberontak adalah sebuah tindakan kepahlawanan.  
“SERULING KESUNYIAN”
            Bercerita tentang seorang anak yang teringat cerita ibunya mengenai kejadian penembakan dan saudara-saudaranya yang hilang, tentang mimpi jeritan yang ibunya alami setiap malam. Jerit kesakitan pilu yang keluar dari isakan ibu.
            Ia duduk di atas kerbau sambil maniup seruling. Angin menderu bersama waktu ketika kaerbaunya berhenti mengunyah rumputan dan mengingatkannya akan ibunya yang telah jauh ketinggalan di belakang zaman yang telah terlalu lama terpendam karena masih terus bercerita tentang penembakan dan saudara-saudaranya yang hilang kepada setiapa orang. Mencoba menceritakan bagaimanan terjadinya pembunuhan dan pembantaian yang menewaskan berates-ratus orang tanpa penjelasan hanya tangisan ratapan dan teriakan kesakitan yang disebarkan angin dan alang-alang yang tumbuh di lapangan sepak bola yang sebenarnya kuburan tanpa nisan.
            Ia menghentikan tiupan serulingnya karena tiada lagi nada dalam hatinya, diletakkan seruling itu di atas batu pada hamparan pasir putih di tepi sungai disuatu lembah di bulan dan bersama kerbaunya ia tinggalkan waktu sambil berharap suatu ketika seruling itu ditemukan kembali disuatu tempat entah dimana kelak pada masa lalunya supaya suara tanpa bunyi itu yang menurut buku-buku tanpa huruf bernama kesunyian.
Menurut saya, dari segi penggunaan bahasa, bahasa yang digunakan begitu puitik, meskipun begitu pengarang tidak meninggalkan unsur dasar dalam cerpen tersebut yaitu tema, tokoh, alur dan sebagainya.
“SALAZAR”
            Menceritakan sebuah penantian seorang adik terhadap kakak kandungnya yang bernama Salazar. Menunggu selama dua minggu terakhir di café, dekat hotel murahan, disebuah lorong gelap di Barcelona, tetapi tak bertemu juga. Salazar yang tinggal di negeri asing karena sikapnya yang selalu menyatakan apa yang dipikirkannya, seorang pemuda yang berkata-kata dengan jelas dan jujur tentang sikap hidupnya.
            Selama dua minggu ini ia bertanya-tanya. Bertanya-tanya tentang bagaimana Salazar hidup di negeri barunya ini, apakah yang harus ia jawab ketika Salazar tentang keadaan dikampung halamannya saat ini. Tetapi, itu hanya angannya saja karena sampai saat ini Salazar tidak pernah menampakkan batang hidupnya di lorong gelap itu.
            Ia masih setia menunggu di kafe tua, dekat hotel murahan, disebuah lorong gelap di Barcelona. Menunggu kedatangan Salazar dari Lisabon.
Cerpen ini menceritakan tentang kesabaran seseorang yang menunggu saudaranya.Tema cerpen ini berbeda dari cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen 'Saksi Mata' yang mengangkat tema kejahatan kemanusiaan, penyiksaan, penganiayaan. Cerpen ini mengangkat tema kerinduan seseorang pada saudaranyayang bernama Salazar. Walaupun hanya mengangkat tema kerinduan, tapi dalam cerpen tersebut ditampilkan melalui isi hati sitokoh'Aku' dalam cerpen, jika pembunuhan dan kejahatan kemanusiaan juga dirasakan si tokoh 'Aku'.
Menurut sumber yang saya dapat cerpen ini dibuat setelah melihat peristiwa di Dili pada tahun 1991 lalu. Inilah keunggulannya, cerpen yang dibuat langsung setelah melihat suatu peristiwa yang sedang hangat terjadi. Berkisah tentang kerinduan tentang seseorang yang terpisah dengan saudaranya yang pergi ke Lisabon ibukota negara Portugal.
JUNIOR
Cerpen ini menceritakan seorang anak bernama Junior. Dulu saat ia berumur 3 tahun, Juniorbegitu kurus, hitam, lusuh, berdaki, dan berambut keriting. Banyak anak yang diserahkan dengan sukarela dan pasrah, selain karena orangtuanya tidak mampu mengurusnya lagi, juga karena orangtuanya itu bisa saja sudah mati dan tidak semua dari anak itu yang mampu bertahan hidup. Namun, tidak dengan Junior. Mata junior yang berkilat-kilat itulah barangkali yang membuat Junior bertahan hidup, pikir Suster Tania-seorang yang merawat Junior sejak 15 tahun yang lalu. Sebenarnya, Suster Tania tidak rela jika Junior harus pergi, tapi Junior berkata pada Suster Tania jika, ia akan memberikan jiwanya dan akan mencari ibunya. Junior ingin menuju Negeri Terindah.
Di dalam jip yang terbuka, Suster Tania membawa Junior menyusuri jalanan yang mulus, membentang ke hadapan mereka kegemilangan laut dan kecemerlangan padang. Senja sudah betul-betul gelap saat Junior berdiri di dekat jip menunggu izin Suster Tania untuk merelakannya pergi. Sebelum Junior pergi, Suster Tania memberikan sebuah bungkusan pada Junior. Sebuah kain pembungkus bayi yang ditisik dengan tulisan. Dalam cahaya senter, Suster Tania melihat kilat mata Junior lagi, Suster Tania memeluk dan Mencius kedua pipinya, sebelum Junior menghilang dari pandangan Suster Tania ke dalam kegelapan padang alang - alang.
Cerpen ini menarik karena menceritakan seorang bocah yang mampu bertahan hidup. Cerpen ini mengangkat tema yang sama dengan cerpen-cerpen lainnya yang terdapat dalam kumpulan 'Saksi Mata'seperti pembunuhan, kejahatan kemanusiaan dan penyiksaan. Cerpen ini seakan menceritakan tentang Junior yang berharap dapat menemukan negeri terindah dimana tidak ada lagi kejahatan kemanusiaan juga penyiksaan.
KEPALA DI PAGAR DA SILVA
Cerpen ini menceritakan tentang kepala yang tertancap di pagar Da Silva, yang tak lain adalah kepala Rosalina, anak perempuan Da Silva satu-satunya. Sebagian besar cerita berpusat pada dua orang di rumah sebelah Da Silva yang menyaksikan kepala bersimbah darah itu di malam hari, saat jam malam. Dari balik pintu, dua orang itu, yang salah satunya ternyata adalah kekasih Rosalina, saling berbisik, gemas, marah, dan merasa kasihan pada Da Silva jika ia mengetahuinya. Alur cerita kemudian bergerak pada kedatangan Da Silva yang lalu masuk ke rumahnya sendiri. Pembaca tentu menunggu-nunggu momen saat Da Silva menemukan kepala anaknya itu. Namun, cerita diakhiri dengan menggantungkarena ditutup dengan Da Silva yang membuka pintu.
Cerpen ini menarik karena penulis mempermainkan imajinasi pembaca dengan kelebat pikiran Da Silva tentang istri dan tiga anak laki-lakinya yang sudah terbunuh di medan perang, serta percakapan dua orang tetangganya dan pembaca dibiarkan berimajinasi sendiri untuk melanjutkan kisah tragis Da Silva yang diteror dengan kepala perempuan di pagar rumahnya.
SEBATANG POHON DI LUAR DESA
Cerpen ini menceritakan tentang seorang anak bernama Adelino yang masih berumur 12 tahun. Adelino selalu mengingat tentang pamannya-Alfonso juga ada 1 hal yang selalu diingatnya tentang pohon yang berdiri tegak diluar desa. Pohon itu memang sudah tua, tak ada yang tahu persis berapa umurnya. Bahkan saat orang yang paling tua di desa itu lahir, pohon tersebut sudah ada. Adelino yang biasanya selalu pergi kesungai pada suatu hari, ia tidak pergi kesana. Adelino pergi ke atas bukit, memandang pohon ditepi jalan itu. Sudah lama ia tidak pernah mendekati pohon itu meskipun sebenarnya ingin sekali. Semua orang di desanya tak lagi berani mendekati pohon itu.
Tak ada perjanjian, tak ada percakapan sedikit pun tentang pohon itu, tapi tak ada seorang pun yang kini menganggap pohon itu ada. Sudah beberapa bulan ini Adelino selalu terbangun tengah malam mendengar suara kaki berlari-lari bergedebukan, mendengar suara napas terengah-engah, dan mendengar suara tembakan. Kadang terdengar jeritan, suara orang mengaduh kesakitan, atau suara orang yang berbisik-bisik dengan nada perintah, tergesa-gesa, campur ketakutan. "Apakah ini gerombolan yang suka dibicarakan Paman Alfonso?" piker Adelino diam-diam. Gerombolan bersenjata yang bersembunyi di perbukitan yang turun ke desa kalau sudah tidak punya makanan, atau mencegat bus dijalan dekat pohon itu, menyergapnya dari balik lading jagung dan merampok penumpang bus lalu menghilang.
Hampir setiap orang di desa mengeluh anaknya diculik, saudaranyadipukuli, kakak perempuannya diperkosa, ada yang mengeluh dirinya ditanya macam-macam sambil disunduti rokok dan ditempeleng. Namun, tidak dengan Paman Alfonso. Paman Alfonso adalah laki-laki yang dikagumi Adelino. Pada siang bolong terjadi baku tembak di lading jagung. Gerombolan itu menyergap patrol tentara, membunuh, dan melucuti semua pakaian mereka. Setelah peristiwa itu berlangsung, operasi militer besar-besaran. Gerombolan menghilang. Pada malam hari, Adelino mendengar bagaimana pintu-pintu ditendang dan penghuni rumah dipaksa ikut. Sebagian tidak pernah kembali dan sebagian kembali dengan wajah yang tidak dikenali lagi. Paman Alfonso termasuk yang tidak kembali, ia digantung di pohon yang tegak menjulang di luar desa. Semua itu sudah lama berlalu, tapi ketakutan masih mencengkeram desa itu.
Cerpen tersebut menurut saya sangat menarik karena dari cerpen tersebut kita bisa mengetahui bagaimana bentuk kejahatan kemanusiaan pada zaman dulu seperti, penganiayaan, penyiksaan dan penghilangan manusia secara paksa. Dari cerpen tersebut kita juga tahu bagaimana dampak atau efek dari kejahatan kemanusiaan yang dapat menimbulkan  trauma dan ketakutan akan bayang-bayang masalalu meskipun, peristiwa tersebut sudah lama berlalu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Review) Naskah Drama Mega Mega Karya Arifin C. Noer

(Review) Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu Karya Joko Pinurbo

(Review) Kumpulan Cerpen Corat-Coret di Toilet Karya Eka Kurniawan