(Review) Naskah Drama Mega Mega Karya Arifin C. Noer
Arifin C. Noer nama lengkapnya
adalah Arifin Chairin Noer. Dia dramawan, penyair, penulis skenario, serta
sutradara film dan sinetron. Dia lahir di kota Cirebon, Jawa Barat, 10 Maret
1941 dan meninggal di Jakarta, 28 Mei 1995 karena penyakit kanker hati. Sebelum
meninggal, ia pernah menjalani operasi kanker di Singapura. Bahkan tanggal 23
Mei 1995 ia dirawat di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Penyakit kanker itulah
merenggut jiwanya. Arifin berasal dari kalangan keluarga sederhana. Dia anak
kedua dari delapan bersaudara dan mengaku berparas paling jelek. Ayahnya, Mohammad
Adnan, keturunan kiai, seorang penjagal kambing dan ahli memasak daging kambing
menjadi sate dan gulai kambing. Meskipun demikian, hal itu tidak membuat Arifin
menjadi terbelakang dan tertinggal pendidikannya dari teman-teman
seangkatannya.
Arifin
mengawali pendidikannya di SD Taman Siswa dan SMP Muhammadiyah di kota
kelahirannya, Cirebon (1957). Setelah menamatkan SMP, ia melanjutkan ke SMA
Negeri di Cirebon, tetapi tidak tamat. Dia pergi mengembara ke Surakarta, Jawa
Tengah. Di kota itu Arifin masuk SMA Jurnalistik dan mulai belajar kesenian.
Dia merasa beruntung dapat berkenalan dengan Sapardi Djoko Damono, Dedy Sutomo,
Mochtar Hadi, dan W.S. Rendra. Setamatnya dari SMA Jurnalistik (1960), ia masih
merasa kerasan tinggal di kota itu. Kemudian, ia masuk ke Jurusan Administrasi
Negara, Fakultas Sosial dan Politik, Universitas Tjokroaminoto, Surakarta,
hingga tingkat doktoral.
Selesai menamatkan studinya di
Fakultas Sosial Politik, Universitas Cokroaminoto, ia pindah ke Jakarta untuk
mendirikan Teater Kecil (1968). Tahun 1979, Arifin bercerai dengan Nurul Aini
kemudian Arifin menikahi Jajang Pamoentjak, putri tunggal Duta Besar RI pertama
di Perancis dan Filipina. Dari perkawinannya dengan Jajang Pamoentjak, mereka
dikaruniai dua orang anak, yaitu Nita Nazira dan Marah Laut. Teater Kecil
kemudian menjadi ajang kreativitas dan aktivitasnya dalam mengembangkan dunia
kesenian di Indonesia, khususnya seni teater.
Karya-karyanya tersebar di
berbagai penerbitan, surat kabar, dan majalah, antara lain Indonesia, Sastra,
Gelora, Basis, Suara Muhammadiyah, dan Horison. Tulisannya yang pertama berupa
sajak, yang menggambarkan curahan perasaan cintanya kepada seorang gadis, Nurul
Aini (1963), yang kemudian ternyata menjadi istrinya. Demikian pula naskah
lakon yang ditulisnya, misalnya "Prita Istri Kita" (1967) yang
kemudian dipersembahkan sebagai mas kawinnya. Kemudian, Arifin menulis puisi
dan naskah lakon yang sangat religius, humanis, sosial, dan absurd.
Dia juga menulis skenario film
dan sinetron, kritik dan esai drama, serta seni pentas yang lain. Buku kumpulan
puisinya, antara lain, adalah (1) Nurul Aini (1963), (2) Siti Aisah (1964), (3)
Puisi-Puisi yang Kehilangan Puisi (1967), (4) Selamat Pagi, Jajang (1979), dan
(5) Nyanyian Sepi (1995). Buku dramanya antara lain, adalah (1) Lampu Neon
(1960), (2) Matahari di Sebuah Djalan Ketjil (1963), (3) Nenek Tertjinta
(1963), (4) Prita Istri Kita (1967), (5) Mega-Mega (1967), (6) Sepasang
Pengantin (1968), (7) Kapai-Kapai (1970), (8) Sumur Tanpa Dasar (1971), (9)
Kasir Kita (1972), (10) Tengul (1973), (11) Orkes Madun I atawa Madekur dan
Tarkeni (1974), (12) Umang-Umang (1976), (13) Sandek, Pemuda Pekerja (1979),
(14) Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi I (1984), (15) Ari-Ari atawa
Interograsi II(1986), dan (16) Ozon atawa Orkes Madun IV (1989).
Selain itu, sebagaimana
disinggung di atas, ia juga menyutradarai banyak film dan sinetron serta
menulis skenarionya, antara lain (1) "Pemberang" (1972), (2)
"Rio Anakku" (1973), (3) "Melawan Badai" (1974), (4)
"Petualang-Petualang" (1974), (5) "Senyum di Pagi Bulan
Desember" (1974), (6) "Kugapai Cintamu" (1976), (7)
"Kembang-Kembang Plastik" (1977), (8) "Suci sang Primadona"
(1978), (9) "Harmoniku" (1979), (10) "Lingkaran-Lingkaran"
(1980), (11) "Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa" (1980), (12)
"Serangan Fajar" (1981), (13) "Pengkhianatan G.30 S/PKI"
(1983), (14) "Matahari-Matahari" (1985), (15) "Sumur Tanpa Dasar"
(1989), (16) "Taksi" (1990), dan (17) "Keris" (1995).
Sebagai sastrawan yang unggul
dan kreatif, ia juga sering memperoleh hadiah sastra, antara lain (1) Pemenang
Sayembara Penulisan Naskah Lakon dari Teater Muslim, Yogyakarta (1963) atas
karyanya "Matahari di Sebuah Djalan Ketjil" dan "Nenek
Tertjinta", (2) Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1972)
atas jasanya dalam mengembangkan kesenian di Indonesia, (3) Hadiah Sastra dari
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1990) atas drama Sumur Tanpa Dasar
yang membawa ia untuk menerima Sea Write Award dari Putra Mahkota Kerajaan
Thailand. Dramanya Kapai-Kapai diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry
Aveling dengan judul Moths dan diterbitkan di Kuala Lumpur, Malaysia.
Mega-Mega merupakan naskah
drama karya Arifin C. Noer. Semula drama ini dimuat dalam majalah sastra
Horison selama tiga kali pemuatan, yaitu Nomor 10/III, Oktober 1968, halaman
306—315; Nomor 11/III, November 1968, halaman 341—350; dan Nomor 12/III, Desember
1968, halaman 371—378. Padan tahun 1999 diterbitkan dalam bentuk buku setebal
124 halaman (+vii halaman) oleh Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta. Pada tahun
2000-an penerbit STSI Bandung menerbitkannya kembali dalam bentuk buku dengan
judul yang sama.
Dalam Mega-Mega dikemukakan
ihwal Mae yang hidup sendirian di kota Jogja. Ia ingin dipandang sebagai
"ibu" (pimpinan) oleh para gelandangan di sekitarnya yang umurnya
memang lebih muda. Mae sangat menyayangkan Retno, perempuan muda yang cukup
cantik (untuk ukuran para gelandangan), tetapi hidupnya menjadi pekerja seks
komersial. Mae juga selalu menasihati Panut agar tidak memilih pekerjaan
sebagai pencopet. Anggota yang lainnya adalah Hanung, seorang penyandang cacat
kaki, yang masa kecilnya dihabiskan di panti asuhan. Tukijan adalah seseorang
yang punya cita-cita membuka kehidupan baru di Sumatra. Seorang gelandangan
bernama Kojal agak berlainan watak karena ia selalu berkhayal untuk mendapatkan
uang banyak sehingga ia selalu membeli kupon undian lotre.
Suatu hari, Kojal mendapat
lotre dan mengajak kawan-kawannya berfoya-foya. Mereka makan-makan di restoran,
membeli pakaian di toko Kim Sin, dan bertamasya ke Tawangmangu. Bahkan mereka
mampu membeli keraton Mataram. Lotre Kojal menciptakan pertengkaran antara Hanung
dan Tukijan. Hanung berusaha membela Kojal yang ditampar Tukijan karena ia
merasa cemburu pada Kojal yang berusaha meraba kaki Retno yang sedang tidur.
Mae berusaha melerai mereka. Kekhawatiran Mae ditinggal anak buahnya akhirnya
menjadi kenyataan. Hanung berangkat ke Jakarta dan Tukijan bersama dengan Retno
berangkat ke Sumatra untuk bertransmigrasi.
Mega-Mega mengungkapkan sebuah
tema yang lahir dari lingkungan yang secara sosial-ekonomi merupakan masyarakat
minoritas sesuai dengan latar yang dipakai yaitu gelandangan dengan pola
kehidupan yang tak pasti. Akan tetapi, dari ketakpastian itu manusia bisa
menjadi apa saja.Tokoh Mae, misalnya, sebagai gelandangan perempuan tua,
praktis hidupnya hanya menjadi gelandangan. Itulah sebabnya, ia agak iri pada Retno
yang masih muda dan masih besar harapan potensi dirinya bisa dijadikan uang
dengan menjadi pelacur.
Tokoh dengan kondisi terparah
adalah Kojal. Ia adalah lambang manusia pengkhayal yang mendapatkan kesenangan
dengan khayalannya. Ia mengkhayal sebagai pemenang lotre dan ia mendapatkan apa
yang dikhayalkannya tersebut. Demikian parahnya pikiran Kojal, sampai-sampai
seluruh jalan cerita dalam drama ini diisi oleh jalan pikiran Kojal sehingga
bisa mempengaruhi semua perilaku tokoh untuk mengikuti khayalannya, yaitu
menghabiskan uang hasil menang lotre.
Kemungkinan lain yang lebih
positif terdapat pada tokoh karsa Tukijan. Di antara semua tokoh yang hidup
bergelandang, tokoh Tukijan memiliki cita-cita yang paling realistis. Dalam
rangka menyongsong masa depan, ia bercita-cita membuka lahan di Pulau Sumatra
sebagai tenaga transmigrasi. Cita-cita itu adalah sebuah keinginan positif dan
layak didukung karena sesuai dengan program pemerintah saat itu (Orde Baru)
dalam mengatasi masalah lapangan kerja dan penurunan wilayah hunian di Jawa. Di
akhir cerita dinyatakan bahwa ia sudah berangkat ke suatu pulau dengan tujuan
bertransmigrasi bersama Retno sebagai calon istrinya.
Mega-Mega pertama kalinya
ditulis pada tahun 1968 ketika masa pembangunan negara baru dimulai dan negara
sedang berusaha membangun kekuatan di segala bidang. Mega-Mega mungkin menjadi
sebuah potret bagi negara Indonesia yang masih belum mantap dalam
penyelenggaraan negara sehingga segala kemungkinan bisa terjadi di masa datang,
baik positif maupun negatif, tergantung pada anggapan dan sikap warganya dalam
memperlakukan negara tempat lahirnya. Pola hubungan tokoh dalam drama ini
adalah pola hubungan antara manusia dan manusia lainnya, baik individual maupun
sosial. Mae dengan sikapnya yang ingin dianggap sebagai seorang
"ibu", telah menciptakan suasana lingkungan para gelandangan yang
terikat secara emosional.
Komentar