(Review) Si Parasit Lajang Karya Ayu Utami




Judul               : Si Parasit Lajang
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Papuler Gramedia
Tahun terbit : Februari 2017
Cetakan  : Ke-5
Tebal : xviii + 201
ISBN : 978-602-424-124-7

        Ayu Utami dikenal sebagai penulis novel Saman dilahirkan di Bogor pada tanggal 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi Sutaryo dan ibunya bernama Bernadeta Suhartinah. Bungsu dari lima bersaudara ini bernama lengkap Justina Ayu Utami dan beragama Katolik. Ia dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman menjadi pemenang sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Kehadiran Ayu Utami dengan novelnya Saman ini mengundang banyak kontroversi. Namun, terlepas dari semuanya itu, novel ini dipuji oleh banyak pihak dan di pasaran tergolong laris (best seller). Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan. 

        Ayu bersekolah di SD Regina Pacis, Bogor (1981), SMP Tarakanita 1 Jakarta (1984), SMA Tarakanita 1 Jakarta (1987). Selanjutnya, Ayu masuk Jurusan Sastra Rusia Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994) dilanjutkan ke Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995) dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999). 

          Berbagai pekerjaan pernah dijalani oleh Ayu Utami. Sebagai salah satu finalis gadis sampul majalah femina (1990)—urutan kesepuluh—Ayu Utami pernah mencoba menggeluti dunia model. Ayu juga pernah bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan pemasok senjata. Dia juga pernah bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public relation. Terakhir Ayu bekerja di dunia jurnalistik dan Ayu merasa cocok dengan pekerjaan tersebut. 

           Di dalam dunia jurnalistik, Ayu Utami pernah menjadi wartawan lepas Matra, wartawan Forum Keadilan, wartawan D&R, dan menjadi anggota Sidang Redaksi Kalam, serta Kurator Teater Utan Kayu. Kegiatan lain yang ditekuninya antara lain pendiri dan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan peneliti pada Institut Studi Arus Informasi. Pada tahun 1994, Ayu Utami termasuk wartawan yang ikut menandatangani Deklarasi Sinargalih, yang merupakan tonggak berdirinya AJI. Untuk itu, ia harus rela dipindah dari bagian redaksi ke bagian pemasaran di tempat ia bekerja, majalah Forum.

       Si Parasit Lajang adalah seri pertama, Cerita Cinta Enrico yang kedua, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang yang terakhir.. Buku ini berisi cercahan pikiran seorang perempuan muda urban. Di akhir usia duapuluhan ia memutuskan untuk tidak menikah dan menyebut diri Si Parasit Lajang, satu istilah yang awalnya dilontarkan feminis Jepang. Sepintas lalu, ia terkesan sangat cuek tentang nilai-nilai di sekitarnya, tak peduli komentar orang sama sekali. Di pihak lain, ia sangat mengamati dan memperhatikan keadaan di sekelilingnya.

       Si Parasit Lajang adalah cewek kelas menengah kota. Kelas ini konon paling terdikte oleh kapitalisme. Tapi, kumpulan kolom ini, yang ditulis dalam rentang sepuluh tahun lebih, menunjukkan bahwa orang juga bisa bersikap kritis bahkan sambil tetap berada dalam lingkup kehidupan kapitalistis. Ia juga mencatat pergerakan nilai-nilai yang terjadi di masyarakat dengan lucu. Jika ada pesan dalam buku ini, maka itu adalah demikian: Di zaman ini, larangan tidak memadai lagi untuk bekal manusia berhadapan dengan tantangan. Yang dibutuhkan adalah kecerdikan.

            10+1 Alasan untuk tidak kawin. Ayu utami menjelaskan 11 alasan kenapa tidak menikah adalah sikap politikn nya.

1.  Emangnya harus menikah?
2. Tidak merasa perlu.
3. Tidak peduli
4. Amat peduli

             Jika di satu sisi Ayu Utami dianggap tak peduli pada nilai yang dipercaya ibu nya, di sisi lain Ayu sesungguhnya amat peduli. Awalnya sederhana saja, sejak kecil Ayu melihat masyarakat mengagungkan pernikahan. Ironisnya, dongeng Cinderella, Putri Salju, Putri Tidur, Pretty Women tamat pada upacara, dentang lonceng, tukar cincin, tau ciuman pada balkon. Artinya, tak ada dongeng tentang perkawinan itu sendiri.

            Sesungguhnya pada titik dongeng berhenti, seorang anak diperkenalkan pada yang realistis. Yang tidak di ceritakan itu. Yaitu, bahwa pernikahan tidak ideal. Selain kasih saying, juga ada kebosanan, penyelewenganm bahkan pemukulan. Tapi itu tabu dibicarakan, sebaiknya masyarakat mereproduksi terus nilai yang mengagungkan pernikahan. Mereka menempatkan jodoh sebagai titik takdir, sejajar dengan kelahiran & kematian. Seolah -- olah alamiah, bahkan kodratiah. Barang kali percintaan memang amat romantis sehingga orang misalnya Ayu dan pacarnya jika sedang jatuh cinta suka berkhayal dipersatukan oleh malaikat (hm tentu khayalan ini berakhir bersama selesainnya hubungan). Perasaan melambung itu mungkin membuat kita ogah mengakui bahwa lahir dan mati adalahb proses biologis, sementara menikah adalah konstruksi social. Lahir dan mati adalah peristiwa alam, menikah adalah peristiwa budaya.

       Persoalannya selalu ada yang tidak beres dengan kontruksi sosial. Pada umumnya pernikahan masih melanggengkan dominasi pria atas wanita. Kecuali di beberapa Negara eropa, hukum tidak terlalu berpihak pada istri. Di Indonesia, ini terlihat pada setidaknya undang-undang perkawinan, perburuhan, maupun imigrasi. Begitu banyak pula pengaduan kasus kekerasan domestic terhadap perempuan.
Tapi, puncak pengesahan supremasi pria atas wanita ada dalam poligami. Tema ini hamper -- hampir tak pernah dikembangkan dalam dongeng cinta, bahkan dongeng 1001 Malam. Yaitu, bahwa seorang lelaki boleh memiliki banyak bini, tapi seorang istri tidak di benarkan mempunyai banyak lelaki. Padahal, secara biologis perempuanlah yang bisa betul -- betul yakin bahwa anak yang dikandungnya adalah anaknya sendiri. Seorang  anak yang terutama adalah anak ibunya.

             Ayu mengatakan bahwa ia anti poligami. Tapi bukannya tidak bisa melihat rasionalisasi di balik kawin ganda ini. Poligami adalah masuk akal di dalam masyarakat yang amat patriakal, yang berasumsi bahwa pria superior, bahwa pria menyantuni perempuan dan tak mungkin sebaliknya, sehingga tanpa lelaki seseorang perempuan tak memiliki pelindung. ( Yang kerap terjadi : masyarakat patriarkal membikin agar perempuan terus menerus bergantung pada lelaki)
Para pendukung poligami umunya gagal untuk mengakui bahwa poligami hanya adil untuk sementara, yaitu dalam konteks patriakal ke dalam masyarakat yang lebih adil, poligami adalah absurd untuk dipertahankan.

            Tapi, lantas apa hubungannya adalah bahwa saya peduli, yaitu jengkel, dengan idealisasi perkawinan yang menjebak perempuan dalam ketergantungan pada lelaki . mungkin ketika Ayu mengatakan bahwa ada persoalan di balik pengangungan atas pernikahan. Pernikahan tidak dengan sendirinya membuat hidup anda sempurna atau bahagia. Ia mengingatkan ada jalan alternative. Perempuan tidak perlu menjadi istri yang kesekian atau kawin dengan lelaki ringan tangan hanya demi jadi Nyonya Fulan.

               Catatan : Jika perkawinan ibarat pasar, orang --orang yang memutuskan tidak menikah sesungguhnya mengurangi pasokan istri seperti organisasi pengekspor minyak mengatur suplai minyak. Juga, mengingatkan para suami bahwa istri tidak bisa bergantung pada dia. Dengan demikian, mestinya harga istri jadi lebih mahal sehingga harus diperlakukan dengan sebaik baiknya

5. Trauma

           Ya seorang Ayu Utami memiliki trauma. Bukan pada lelaki, sebagian yang dikira banyak orang, melainkan, melainkan pada sesame perempuan yang tidak sadar bahwa mereka tunduk dan melanggengkan nilai -- nilai patriarki. Ayu mengatakan ia mempunyai dua bibi pemuja perkawinan. Salah satunya begitu mengagungkan persuntingan, sehingga jika dirinya menikah. Bibinya takkan menyapanya dalam suratnya dengan nama Ayu, melainkan sebagai Nyonya Suami. Tapi mereka sendiri tidak menikah bukan karena tidak mau  melainkan karena tak dapat. Mereka juga pencemburu pada perempuan lain yag tak sedarah. Mereka cenderung menganggap bahwa anak laki-laki lebih berharga ketimbang anak perempuan. Syukurlah bahwa Ayah ibu Ayu Utami tersebut memperlakukan sama putera puterinya. Semabari Ayu tak dendam melihat ketidakadilan.

              Ayu juga mempunyai guru-guru SD dan SMP yang memenuhi segala stereotip tentang "perawan tua" : perempuan tidak  "Laku" yang dengki. Mereka mengidealkan perkawinan, tapi mereka sendiri tidak mendapatkan suami. Mereka adalah guru killer di sekolah. Mereka menghukum dengan berlebihan. Mereka membenci murid -- murid yag cantik. Syukurlah Ayu utami cendurung tomboy waku sekolah, sehingga mereka baik pada nya. Dengan demikian ayu punya simpati baik pada si guru maupun pada korbannya. Sembari, tetap merasakan ketidakadilan.

           Inilah trauma seorang Ayu Utami : bahwa ia melihat sindrom perawan tua. Sejak remaja ia merasa tertanggu olehnya. Bertahun lalu ketika masih remaja Ayu pernah menulis dalam buku harianya Barangkali ia tidak menikah kelak, tetapi ia tidak akan menjadi pencemburu. Mungkin inilah jalan yang ia pilih masuk ke dalam trauma itu dan membalikannya. Masuk ke dalam prasangka masyarakat dan membuktikan kesalahannya.

           Ayu mengatakan " bibi saya guru-guru saya, mereka adalah orang yang terluka. Mereka dilukai oleh masyarakat yang hanya menganggap sempurna wanita berkeluarga dan menganggap  tak laku perempuan lajang tua. Dan luka itu adalah milik setiap perempuan. Saya ingin mengorek luka konstruksi sosial, sehingga kita tak perlu menjadi sakit karena nya. Konstruksi sosial itu patriakal pula, yaitu yang membikin perempuan bergantung pada lelaki. Itu tidak adil . jadi jangan diteruskan.

6. Tidak Berbakat.

          Ayu mengatakan, rasanya dirinya tak berbakat untuk segala yang formal dan institusional. Contohnya  sejak SMP ia tak pernah jadi murid yang baik.

7. Kepadatan penduduk.

             Dirinya tak ingin menambah pertumbuhan penduduk dengan membelah diri.

8. Seks tidak identik dengan perkawinan

        Wah, pertama ini konsekuensi alas an ke-5 tadi : dirinya harus membuktikan bawa perawan tua dan tak menikah tidak berhubungan seks dengan bukan pasangannya?

9.  Sudah terlanjur asyik melajang                                                                         
               
10. Tidak mudah percaya

            Ibu nya selalu mengatakan bahwa menikah membuat kita tidak kesepian di hari tua. Tapi siapa yang bisa jamin bahwa pasangan tak akan bosan dan anak-anak tidak akan pergi? Tak ada yang abadi di dunia ini jadi sama saja.

         +1. Dan kenapa saya menceritakan semua itu? Sebab selalu ditanya. Inilah anehnya kesadaran. Ketika menjalani hidup sebetulnya semua mengalir begitu saja. Tapi ketika ditanya, kita seperti dipaksa kita menyadari dan merumuskan. Lantas sesuatu yang semula terasa wajar menjelma sikap politik.

             Dalam buku ini Ayu juga menuturkan bahwa putih per definisi adalah cantik. Batasan mereka tentang wanita cantik adalah wanita yang begitu putih sehingga jika minum kopi, hitam kopi itu akan terlihat ketika mengaliri lehernya. Parody mensyarat nilai yang serius. Kadar putih dan lembut sebagai ideal kecantikan memang berlaku sungguhan.

           Ayu Utami punya gaya bahasa yang betul-betul jujur cenderung brutal, liberalis kental, modern, berbau feniminisme, sekuler, namun menurut saya rasional. Menyenangkan membaca kisah Ayu Utami. Betapa kompleks pikirannya bahkan pada hal-hal kecil yang sering kita lewatkan. Banyak sisi bagus dalam buku ini, bukan berarti saya setuju dengan isinya. Akan tetapi, saya jadi lebih tahu apa yang ada di pikiran feminisme, liberalis, pendapat kaum kaukaso tentang kaum mongol. Semuanya fantastis. Dengan tamatnya buku ini, maka berubahlah juga sebagian kecil pola pikir saya. Manusia pada dasarnya selalu mencari, ketika ada sesuatu yang membuatnya ragu, dia akan mencari pegangan baru.

          Ayu adalah seorang feminis, dan ia banyak menyorot ketidakadilan yang merugikan perempuan, khususnya dalam hal perkawinan. Ia merasa undang-undang perkawinan di negeri ini sangat patrialkal. Terlalu mengagung-agungkan lelaki, sehingga pada akhirnya membuat wanita jadi terlalu bergantung kepada laki-laki. Dengan kata lain, wanita diposisikan sebagai pihak yang lemah. Perundang-undangan perkawinan dan sistem sosial masyarakat memelihara pelemahan itu. Undang-undang perkawinan dianggap masih kurang sadar jender. Undang-undang ini menerapkan lelaki sebagai kepala keluarga. Akibatnya, istri jadi bayar pajak lebih besar daripada suami, sebab penghasilannya dianggap pendapatan tambahan.

               Hal lain yang Ayu bahas mengenai kecantikan yang dinilai dari warna kulit. Di Indonesia, cantik identik dengan putih. Makanya produk pemutih laris manis dengan varian yang banyak. Perempuan berlomba-lomba menjadi putih. Sementara di belahan bumi lain, cantik justru identik dengan kulit yang kecokelatan. Makanya produk pencokelat/penggelap kulit (tanning cream) di sana laris manis. Juga banyak salon yang menyediakan mesin penyinar yang membuat kulit berwarna kecokelatan. Idealisasi seperti itu diiklankan oleh model lewat latar pantai tropis laut yang sangat indah, sesuatu yang eksotis bagi negara nontropis.

        Ayu menuturkan bahwa ada persoalan kelas di sini. Di Amerika Serikat, idealisasi keindahan kulit cokelat adalah lantaran ia merupakan milik kelas atas (halaman 54). “Kulit cokelat tidak dengan sendirinya menjadi indah,” begitu tulis Ayu. “Ia menjadi indah karena datang satu paket dengan kemewahan berselancar di antara ombak, berjemur di pantai, dan mandi matahari. Hanya orang kaya yang memiliki waktu luang dan cukup uang untuk bersantai terus dan pergi ke tempat-tempat eksotis.” Sementara di negara kita, kulit gelap selama beratus-ratus tahun identik dengan para pekerja kasar, buruh, petani, tukang becak, dan mereka yang sehari-harinya berada di bawah matahari. Kulit terang menjadi milik bangsawan dan priyayi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Review) Naskah Drama Mega Mega Karya Arifin C. Noer

(Review) Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu Karya Joko Pinurbo

(Review) Kumpulan Cerpen Corat-Coret di Toilet Karya Eka Kurniawan