Sawahlunto Kota Tua Bekas Tambang Batubara yang Kini Menjadi Kota Wisata
Lebih dari 100 tahun silam,
insyinyur berkebangsaan Belanda yang bernama C. de Groot memprediksi adanya
kandungan batubara di Ombilin Sawahlunto pada tahun 1885. Satu dekade setelah itu,
Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengutus W.H. de Greve melakukan ekspedisi
ulang di jalur yang sama. Geolog muda itu berhasil menemukan cadangan batubara
dalam jumlah besar di pedalaman Sumatera Barat, tepatnya di Sawahlunto.
Hasil temuan ini menjadi
pembicaraan hangat pemerintah Kolonial Belanda. Mereka menyetujui untuk
membangun perusahaan tambang batubara yang diberi nama Landsbedrijf de
Oembilin Steenkolenotginning (SK Direktur Van Verkeer, tanggal 2 Desember
1936), kemudian dikenal dengan Oembilin Mijnen atau Tambang Batubara
Ombilin (TBO).
Untuk memperlancar produksi
batubara, pemerintah kolonial Belanda kemudian membangun jalur kereta api
secara bertahap, yang diawali dengan pembangunan rel tahun 1891. Pada tahun
1905 dibangun Gedung Sentral Listrik di Mudiak Aie-yang berada tepat di jantung
kota Sawahlunto. Pada tahun 1914 perusahaan kembali membangun sentral listrik
yang berlokasi di Salak. Masih ditahun yang sama perusahaan membangun fasilitas
rumah sakit (Hospital Sawah Loento). Pada 1919, perusahaan membangun Gereja
Kerkje St. Barbara. Gereja ini diperuntukan bagi mereka yang beragama Katolik.
Berlokasi di tengah kota dengan desai khas kolonial Belanda. Selain itu, gereja
dilengkapi dengan gedung kesustraan dan sekolah bagi anak-anak Belanda. Pada
tahun 1918, dibangun Goedang Ransoem untuk memehuni kebutuhan makan para buruh.
Makanan yang dihasilkan dari Goedang Ransoem mencapai ribuan porsi. Untuk
buruh-buruh tambang, perusahaan membangun rumah dengan desain berjejer,
memanjang dan membentuk lajur. Perumahan ini dikenal dengan sebutan“Tangsi”.
Dari sisi produksi, catatan
sejarah perusahaan memperlihatkan gerakan yang fluktuatif. Pada tahap awal
angka produksi dari tahun 1893-1921 berhasil meraup keuntungan besar, terutama
ketika permintaan pasar dunia melonjak tajam selama Perang Dunia I. Pada tahun
1930, Tambang Batubara Ombilin harus berhadapan dengan depresi ekonomi yang
berakibat terjadinya krisis financial pada dua tahun berikutnya. Angka produksi
cenderung bergerak turun dan rencana penutupan tambang mulai diagendakan.
Pada masa pendudukan Jepang, Jepang
tidak berhasil menggenjot produksi. Pada tahun 1942 produksi batubara mencapai
300.221 ton. Setahun kemudian, produksi menurun hingga 228.724 ton. Tahun 1944,
grafik produksi menurun drastic di bawah angka 100.000 ton (92.878 ton). Hingga
masa pendudukan Jepang berakhir, tidak terjadi kenaikan pada grafik produksi.
Angka produksi hanya mencapai 50.324 ton pada tahun 1945.
Sejak aktivitas tambang
batubara di Sawahlunto dihentikan, kota Sawahlunto pun berangsur sepi. Banyak
orang yang pergi meninggalkan kota Sawahlunto. Pemerintah Kota Sawahlunto
berupaya untuk kembali menghidupkan kota, melalui rancangan kota wisata
tambang. Diharapkan rancangan ini bisa mendongkrak lapangan pekerjaan baru dan
menghidupkan kembali pasar yang mati suri.
Pada awal abad ke-21,
Sawahlunto kemudian menukar arah haluan dari kota tambang yang mendatangkan
buruh, menjadi kota wisata yang mengundang turis. Pemerintah Kota Sawahlunto
bersama warganya bahu-membahu menata kembali semua gedung-gedung tua
peninggalan Belanda yang ada di kota ini sehingga terlihat menarik. Beberapa
gedung dijadikan sebagai museum seperti, Museum Kereta Sawahlunto yang dulunya
merupakan stasiun, tempat dimana kereta pembawa batubara memulai perjalanannya
menuju Sawahlunto untuk dikapalkan entah kemana. Selain itu, museum yang tak
kalah menarik lainnya adalah Museum Goedang Ransoem yang memuat peralatan-peralatan
masak berukuran raksasa yang digunakan pada saat masih menjadi dapur umum yang
menyuplai makanan bagi ribuan pekerja tambang dan pasien rumah sakit. Tak jauh
dari Museum Goedang Ransoem, ada Galery Info box yang menyatu dengan Lobang
Tambang Mbah Soero dimana wisatawan bisa memasuki lobang tersebut dan merasakan
sensasi sebagai pekerja tambang dalam perut bumi.
Penampakan Kota Sawahlunto jika dilihat dari Puncak
Cemara saat siang hari
Penampakan Kota Sawahlunto jika dilihat dari Puncak
Cemara saat malam hari
Museum Goedang Ransoem
Museum Goedang Ransoem
Infobox
Gedung
Pusat Kebudayaan
Museum Kereta Api
Kantor PT. BA - UPO
Mesjid Agung
Komentar