Bahasa Tansi Bahasa Anak Sawahlunto
Menurut Wikipedia, Bahasa
Tansi atau bahasa Tangsi adalah bahasa
yang berasal dari buruh
tambang batubara
di masa kolonial Belanda di Sawahlunto.
Para buruh ini menciptakan model bahasa kreol
sejak kawasan ini menjadi kota tambang modern. Ini bahasa kreol pertama di Indonesia
yang lahir dari latar belakang perburuhan dan berada di pedalaman.
Percampuran pada bahasa Tansi
lahir tidak kurang dari 10 bahasa, yaitu: Jawa,
Sunda,
Madura,
Bali,
Bugis,
Batak,
China,
Minangkabau, Belanda,
dan Melayu
sebagai bahasa dasar.
Bahasa Tansi pada umumnya tumbuh
dikawasan kota lama di, yaitu Tangsi Rante (untuk orang-orang rantai), Tangsi
Tanah Lapang, dan Tangsi Baru yang berlokasi di Air Dingin, sampai saat ini
generasi keturunan orang rantai itu yang berdiam dikawasan Tangsi masih
menggunakan bahasa Tansi. Selain itu, juga terdapat tangsi di wilayah lain Kota
Sawahlunto, seperti Tangsi Baru, Tangsi Duren, Tansi Sunge Duren, maupun Tansi
Sikalang.
Pada 10 Oktober 2018, Bahasa
Tansi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kemunculan bahasa Tangsi sendiri
dimulai sejak beroperasinya Tambang
Batubara Ombilin (TBO) dan arus migrasi
orang-orang dari berbagai daerah ke Sawahlunto. Pendatang itu berasal dari berbagai
daerah di Hindia Belanda dan dari berbagai bangsa Eropa yang turut
bermukim di sekitar tambang.
Ada tiga (3) pengertian Tansi, pertama,
kata Tansi sebagai akronim dari ’tahanan besi’, khusus bagi buruh paksa, kaum
pekerja pertama yang didatangkan yang menjadi cikal bakal terbentuknya
masyarakat buruh tambang atau yang disebut sebagai masyarakat tansi. Informasi
ini didapat dari masyarakat yang tinggal di daerah yang dulunya adalah kawasan
Tansi Rantai. Pengertian ini agaknya mengacu pada buruh paksa yang selalu dalam
keadaan dililiti rantai besi. Kedua, kata ’tangsi’ sebagai akronim dari
’tahanan kongsi’ dengan ditambahkan konsonan ”g”. Informasi ini didapat dari
kalangan peranakan Tionghoa, generasi kemudian dari para buruh Cina. Pengertian
ini berkemungkinan mengacu pada para buruh Cina yang ’dijual’ oleh
kongsi-kongsi pengerah tenaga kerja yang ada di Pinang dan Singapura. Ketiga,
kata ” tangsi” dalam pengertian sebagai barak.
Para pekerja tambang, terutama
pekerja paksa atau disebut juga buruh paksa, awalnya adalah narapidana dari penjara Muaro
Padang. Karena sering melarikan diri, pihak pemerintah
Hindia Belanda akhirnya mendatangkan narapidana
dari penjara-penjara di Batavia. Para narapidana ini terdiri dari orang Jawa, Bali, Madura,
dan Bugis.
Mereka dipaksa untuk bekerja menggali batu bara di lubang-lubang penggalian. Narapidana
yang dianggap berbahaya, terutama para tawanan
politik, dirantai kaki, leher, dan tangannya. Mereka pun dinamakan kettingganger
atau ”orang rantai”. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal masyarakat
Sawahlunto.
Pada Awalnya, ada tiga tansi yang
dibangun di kawasan ’pusat kota lama’ (PKLm), yaitu Tansi Rantai (untuk
orang-orang rantai), Tansi Tanah Lapang dan Tansi baru yang berlokasi di desa
Air Dingin. Namun, seiring perluasan dan dibukanya areal tambang baru yang lebih
ke utara, tansi-tansi baru terus dibangun. Perkembangan lokasi tambang dan
dibangunnya tansi-tansi yang baru, seperti di kampung-kampung Surian, Sungai
Durian, dan Sikalang membentuk apa yang disebut sebagai ’teras kota lama’
(TKLm). Tansi-tansi yang dibangun belakangan ini memang sedikit lebih baik
seperti bangunan yang semi permanen, adanya kamar khusus untuk buruh-buruh yang
sudah beristri, dapur dan kamar mandi bersama.
Di tansi-tansi itulah para buruh
tambang menjalani kehidupan sosial yang timpang yang selalu dalam pengawasan
dan diwarnai kekerasan. Pengawasan itu datang ari para mandor yang tinggal di
sekitar tansi, atau pun dari pejabat Kolonial dan Petinggi Perusahaan dari
rumah mereka yang terletak di tempat tinggi dan langsung menghadap tansi,
terutama Tansi Rantai (Tansi Rante). Meskipun demikian, interaksi sosial antar
buruh di tansi jauh lebih terbuka dibandingkan saat mereka berada di lokasi
tambang dengan pengelompokan kerja berdasarkan etnis.
Tansi, dengan ruang bangsal dan
jalan-jalan kecil yang disebut gang serta dapur dan kamar mandi bersama yang
dibangun lebih kemudian menjadi media interaksi sosial yang mempertemukan buruh
tambang dari berbagai etnik, bangsa, dan kategori. Pertemuan ini tentu diiringi
dengan terjadinya peristiwa komunikasi, mulai dari yang sederhana sampai ke
yang lebih kompleks, yakni ditandai dengan adanya sebuah ”bahasa” yang dapat
berterima dan dipahami bersama dalam interaksi sosial antar buruh
tersebut. Sebuah ”Bahasa” yang oleh generasi yang lahir belakangan, dinamai
sebagai bahasa Tansi.
Kodifikasi Bahasa Tansi sangat sederhana dan
kendur; kecenderungan struktur kalimat mana suka atau tidak baku, serta
terdapat penggalan-penggalan kata dan kalimat dari bahasa tertentu (reduced).
Bentuk itu dapat dibuktikan melalui salah satu contoh:
+ : ”Ni Tis, mo mana ke ?”
’Kak Tis, mau (ke) mana kamu?’
’Kak Tis, hendak ke mana kamu?’
- : ”Mo belanja”.
’Mau (ber-)belanja’.
’Hendak berbelanja’.
+ : ”mana?”
’Ke mana?’
- : ”Kede (kade), Mo titip apa ke ?”
’ke kedai. Mau (men-)titip apa kamu?’
’(aku hendak) ke warung. Apakah kamu
akan menitip sesuatu?’
+ : ”Ndak (nda), aku sangka (sanka) mo pigi pasar,
aku mo titip bayam”.
’Tidak, aku sangka mau pergi pasar, aku
mau (men-)titip (sayur) bayam’.
’Tidak, aku mengira kamu mau pergi (ke)
pasar, aku mau menitip sayur bayam.
Komentar